|
Menu Close Menu

Ketimpangan Anggaran Pusat dan Daerah

Kamis, 29 Desember 2022 | 18.44 WIB

Ilustrasi. (Dok/Istimewa).

Oleh Moch Eksan


Lensajatim.id, Opini- Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani sudah merilis realisasi pendapatan negara dan belanja negara. Per 14 Desember 2022,  tercatat pendapatan sebesar Rp 2.337,5 triliun. Belanja sebesar Rp 2.717,6 triliun.


Selisih antara pendapatan negara dan belanja negara menyebabkan defisit anggaran sebesar Rp 380,1 triliun. Jumlah ini ditutup dengan skema pembiayaan neto yang bersumber dari Sisa Lebih Penghitungan Anggaran (SILPA) 2021. Sejumlah Rp 84,9 triliun. Juga ditutup dengan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Sejumlah Rp 924,4 triliun.


Sri Mulyani sangat yakin bahwa APBN Indonesia sehat. Kendati pemerintah selalu mengalami defisit anggaran dan hutang negara terus bertambah. Mantan Bos Bank Dunia ini, percaya diri Indonesia akan selamat dari resesi ekonomi dunia.


Mantan Wakil Presiden, Jusuf Kalla memang sempat mengingatkan Sri Mulyani agar tak menakut-nakuti rakyat dengan terus menyebarkan ancaman resesi ekonomi dunia terhadap Indonesia.


Apalagi, World Economic Outlook Update per Januari 2022, memperediksikan 10 negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia. Antara lain Indonesia dengan perkiraan tumbuh 5,6 persen. Yang nomor satu India dengan angka pertumbuhan 9 persen, dan nomor 10 Polandia dengan angka pertumbuhan 4,6 persen.


Rilis 2 November 2022 dari International Monetary Fund (IMF) mengenai 20 negara dengan Product Domistic Bruto (PDB) terbesar di dunia. Nomor 17 adalah Indonesia dengan PDB sebesar US$ 1.29 triliun. Pertama adalah Amerika Serikat dengan US$ 25.04 triliun. Dan ke-20 adalah Turki dengan US$ 958.46 miliar.


Berbagai data di atas, bukti bahwa Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga dunia dengan kekuatan ekonomi yang besar pula. Sayangnya, postur anggaran negara masih timpang. Akibat dari kebijakan fiskal yang kurang berkeadilan. Sebagai gambaran berikut ini:


Pertama, alokasi anggaran antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sangat jomplang. Belanja pemerintah pusat sebesar Rp 2.301.6 triliun. Sedangkan belanja pemerintah daerah sebesar Rp 749.7 triliun.


Sementara itu, total realisasi belanja sebesar Rp 2.717.6 triliun dari pagu APBN sebesar 3.106.4 triliun. Ini berarti rasio belanja sebesar 74,1 persen untuk pusat, dan 25,9 persen untuk daerah.


Kedua, Badan Kepegawaian Negara (BKN) menyebutkan bahwa Aparat Sipil Negara (ASN) sejumlah 4,3 juta. Pusat 978 ribu atau 23 persen. Daerah 3,7 juta atau 77 persen.


Ironinya, 23 persen ASN pusat mengelola anggaran 74,1 persen. Dan 77 persen ASN daerah mengelola anggaran 25,9 persen.


Ketiga, negara ini telah mengalami defisit anggaran sudah bertahun-tahun. Belanja negara lebih besar dari pendapatan negara. Ini rezim anggaran lebih besar pasak daripada tiang.


Realisasi APBN 2022 rasio pendapatan dan belanja minus 13,98 persen. Ini mestinya diatasi dengan peningkatan perolehan pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Namun ternyata diatasi dengan skema pembiayaan neto.


Keempat, APBN sebagai instrumen fiskal untuk membiaya belanja negara, peningkatan kesejahteraan rakyat serta pertumbuhan ekonomi, belum 100 persen maksimal.


Pemerintah dan DPR RI telah menyepakati APBN 2022 sebesar Rp 3.106.4 triliun. Sedangkan, realisasi anggarannya hanya sebesar Rp 2.717.6 triliun. Ada Rp 388.8 triliun atau 12.51 persen yang tak terserap.


Postur anggaran negara yang timpang di atas, menyebabkan pelaksanaan otonomi daerah yang setengah hati. Padahal, makna otonomi daerah bukan sekadar pembagian urusan tapi juga pembagian anggaran yang imbang. Sehingga pusat dan daerah dapat maksimal memenuhi target pembangunan nasional.


*Penulis adalah Pendiri Eksan Institute

Bagikan:

Komentar