|
Menu Close Menu

Nadham Alfiah Ibnu Malik

Selasa, 10 Januari 2023 | 08.43 WIB

Kegiatan Festival Tradisi Islam Nusantara di Banyuwangi, Jawa Timur. (Dok/Istimewa). 


Oleh Moch Eksan


Lensajatim.id, Opini- Acara festival Tradisi Islam Nusantara pada Senin Malam, 9 Januari 2023 di Banyuwangi, membawa fikiran saya pada memori waktu di Pondok Pesantren Miftahul Ulum Suren, Ledokombo, Jember. Pementasan Hadrah dan Lalaran Alfiah Kolosoal dalam rangka peringat Satu Abad NU, mengingatkan pada jasa sosok Almaghfurllah KH Mudhasir Mudhar, pengampu Alfiah setiap sore di pesantren tersebut.


Waktu itu, 34 tahun lalu, saya pernah menang lomba Muhafadhah Alfiah pada acara Imtihan Li Akhirissanah. Ternyata, syair ilmu nahwu dan sharaf tersebut sangat menarik bila dibaca bersama-bersama dengan iringan suara musik tradisional. Apalagi yang membaca 500 santri dari 6 pesantren di Kota Gandrung itu.


Kitab Alfiah adalah kitab nahwu dan Sharaf yang dikarang oleh Muhammad bin Abdullah bin Malik ath-Tha'i al-Jayyani atau lebih dikenal dengan Ibnu Malik. Ulama ini lahir di Jaen Andalusia pada tahun 600 H dan wafat tahun 670 H di Damaskus Syam.


Ibnu Malik adalah seorang ilmuwan Bahasa Arab terpopuler abad ke-13 Masehi. Ia pengikut Sunni dalam aqidah dan Syafi'i dalam fiqih. Namun, disiplin keilmuan yang paling utama adalah Bahasa Arab.


Selain Kitab Alfiah, Ibnu Malik juga menulis  kitab lain dalam bidang nahwu, sharaf, arud, qiraah dan hadits. Antara lain:


Pertama, Kafiyah asy-Syafiyah, dalam bidang kaidah sharaf.


Kedua, Tashil al-Fawaid wa Takmil al-Maqashid, dalam bidang kaidah nahwu.


Ketiga, Hijaz at-Tashrif fi `ilmi at-Tashrif.


Keempat, Tuhfatu al-Maudud fi al-Maqshur wa al-Mamdud


Kelima, Lamiyatu al-Af`al.


Keenam, Al-I`tidhad fi adh-dha' wa azh-zha.


Ketujuh. Syawahid at-Taudhih limusykilat al-Jami` ash-Shahih, merupakan syarah secara nahwu dari 100 hadits yang ada di Shahih Bukhari.


Kitab Alfiah merupakan bahan ajar pesantren di seluruh pelosok Tanah Air. Kitab ini dipelajari setelah menyelesaikan kitab Al-Jurumiyah dan Imrithi. Alfiah yang terdiri dari 1002 bait syair ini biasa dihafalkan oleh para santri. Agar santri menguasai tata Bahasa Arab dengan baik dan benar, serta membantu dalam memahami teks kitab kuning.


Kitab ini di Barat dikenal dengan judul "The Thousand Verses” yang menjadi panduan kajian ilmu linguistik. Ibnu Malik sendiri sesungguhnya Orang Andalusia atau dikenal Spanyol sekarang. Sebuah negara yang ditaklukkan oleh Panglima Perang Dinasti Bani Umayyah, Thoriq Bin Ziyad pada 711 Masehi.


Tak kurang dari 43 kitab syarah yang menjelaskan Kitab Alfiah Ibnu Malik. Rerata dilakukan oleh para muridnya dari Timur maupun Barat. Di antaranya: Muhammad Badruddin (salah satu pensyarah Alfiyah),

Badruddin bin Jama`ah (seorang Qadhi di Mesir),

Abu al-Hasan al-Yunaini (seorang muhaddits),

Ibnu an-Nuhas (seorang ulama nahwu), dan Abu ats-Tsana Mahmud al-Halabi.


Dalam konteks tradisi Islam Nusantara, Alfiah Ibnu Malik merupakan khazanah intelektual yang memiliki pengaruh paling masif dalam pengembangan Bahasa Arab di Indonesia. Bahkan, gaya Bahasa Arab di negeri ini seperti Bahasa Arab abad pertengahan yang sangat ketat terhadap tata bahasa.


Ada cerita Gus Dur yang sangat populer. Suatu waktu lawatan kenegaraan ke Arab Saudi, Presiden Gus Dur bertemu dengan Raja Fahd. Konon selama 10 tahun, Raja Suadi tak pernah tertawa. Kala itu dibuat tertawa terbahak-bahak oleh Presiden Gus Dur.


Presiden Gus Dur bilang kepada Khadimul Haramain mengawali pembicaraan. "Paduka Yang Mulia jangan gampang percaya pada rakyat Indonesia", katanya. "Lho memang kenapa iya Presiden?, tanya Raja Fahd.


"Orang Indonesia itu banyak yang pinter Bahasa Arab. Tetapi Bahasa Arab yang dipelajari dari kitab-kitab lama. Paduka kan Bahasa Arabnya modern," jawab Presiden Gus Dur.


"Memangnya kenapa iya Presiden?", tanya kembali Raja Fahd untuk minta penjelasan lebih lanjut.


Jawaban Presiden Gus, "Ada seorang syeikh dan pembantunya naik haji. Lalu mereka pergi ke Masjidil Haram dari asrama. Mereka membaca tulisan rambu-rambu jalan. "Mamnu'ud Dukhul (dilarang masuk)".


"Si Syeikh bilang kepada pembantunya. "Gimana orang Arab ini, mau begituan di tempat suci", cerita Presiden Gus. Sebab, makna mamnu'ud dukhul dalam kitab-kitab lama artinya dilarang bersetubuh.


Cerita humor di atas, sebenarnya autokritik terhadap sistem pengajaran Bahasa Arab di Pesantren. Bahwa, kebanyakan penguasaan Bahasa Arab bersifat pasif dan bukan Bahasa Arab aktif. Sehingga, acapkali  mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang Arab. Meski jago dalam membaca teks berbahasa Arab sekalipun.


Memasuki Abad ke-2 NU, menuntut peran pesantren lebih luas. Penguasaan bahasa secara aktif adalah mutlak. Ini sangat diperlukan untuk mengkampanyekan Islam Nusantara pada dunia. Akan tetapi, penguasaan bahasa secara pasif tetap penting dan tak boleh ditinggalkan untuk pengembangan kitab turats yang ditinggalkan oleh ulama dulu, kini dan nanti.


Jadi, Alfiah Ibnu Malik jangan hanya sekadar dihafalkan dan menjadi alat untuk memahami khazanah Islam klasik, akan tetapi juga harus mengambil spirit Imam Malik yang ajami menaklukan Arab dengan ilmu bahasa Arab itu sendiri.


Memang, usia Imam Malik hanya 70 tahun di dunia, namun Alfiah Ibnu Malik hidup melampuai usianya. Kitab ini telah berusia tak kurang dari 774 tahun lebih hidup di alam fikiran jutaan santri Nusantara.


Akhirnya, saya kutipkan pernyataan Pramoedya Ananta Toer, "Orang pandai bisa mencapai langit, tapi selama dia tidak menulis, dia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian".


*Penulis adalah Pendiri Eksan Institute

Bagikan:

Komentar