|
Menu Close Menu

Presiden "Gajah Mada"

Senin, 24 April 2023 | 23.00 WIB

 

Ganjar Pranowo saat bersama Presiden RI, Joko Widodo dalam satu pesawat. (Dok/Istimewa).

Oleh Moch Eksan


Lensajatim.id, Opini- Ada artikel viral yang membenturkan Anies Rasyid Baswedan versus Ganjar Pranowo. Namanya Yusuf Blegur yang menulis judul "Capres HMI Versus Capres GMNI". Seolah-olah tampilnya, Anies dan Ganjar sebagai pertarungan ideologi antara kelompok nasionalis Islam dan nasionalis sekuler.


Padahal, HMI dan GMNI tak bisa dipersonifikasikan dengan sosok Anies dan Ganjar. Bahwa keduanya alumni organisasi ekstra kampus tersebut, "iya". Namun, tak otomatis HMI dan alumni HMI mendukung Anies. Dan, tak altruistis GMNI dan alumni GMNI menyokong Ganjar. Dalam pergulatan politik dan perebutan kekuasaan, jejaring dua organisasi ekstra universiter ini biasanya melintas batas ideologi dan kekuatan politik.


Di kelompok Anies ada alumni GMNI dan juga di kelompok Ganjar ada alumni HMI. Terlalu mahal, pertarungan Anies dan Ganjar dalam merebut kursi presiden Indonesia periode 2024-2029, menyerat dua organisasi kemahasiswaan tersebut dalam perebutan pucuk pimpinan negeri ini.


Sementara, semua pihak pasti menyadari bahwa HMI dan GMNI didesain sebagai organisasi kader yang disiapkan bukan hanya hidup semusim masa jabatan presiden, tetapi dalam sepanjang masa, selagi Indonesia masih ada. Dalam kelompok Cipayung, mereka bisa bersatu padu sebagai kekuatan kritis pemerintah tanpa terkooptasi dengan kelompok kepentingan manapun. Mahasiswa sejatinya merupakan _moral force_ bangsa, bukan _task force_ dari dari pemenangan capres tertentu.


Memang, Anies dan Ganjar adalah aktivis organisasi kemahasiswaan kampus di Universitas Gajah Mada (UGM). Anies pernah menjadi Ketua Komisariat Fakultas Ekonomi UGM dan Presidium Majlis Nasional Korp Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Periode 2012-2017.


Sedangkan, Ganjar adalah aktivis GMNI di Fakultas Hukum UGM. Dan selama ini, ia adalah alumni GMNI yang banyak membantu kegiatan organisasi dari berbagai daerah. Aktivis yang membela Megawati lawan Soerjadi dalam konflik PDI 1996.


Namun demikian, Anies maupun Ganjar tak ingin membawa-bawa dua organisasi kemahasiswaan dalam pertarungan politik. Apalagi, mau memainkannnya secara organisatoris. Dua organisasi yang diketua oleh Lafran Pane untuk pertama kali pada 1947 dan SM Hadiprabowo untuk pertama kali pada 1954, bersifat independen, tak berafiliasi pada kekuatan politik manapun, dan juga bukan _underbrow_ dari ormas atau parpol manapun.


HMI dan GMNI merupakan aset bangsa yang harus dijaga dan dipelihara. Independensi organisasi ini merupakan modal intelektual dan sosial untuk hidup dalam rezim apapun. Sehingga, rugi bila dua organisasi kemahasiswaan ini terlibat dalam aksi dukung mendukung capres. Lantaran sama-sama alumni, siapa pun sangat boleh memberi dukungan pribadi namun jangan secara organisasi. Semua ini untuk mensterilkan kepentingan politik praktis yang bersifat perorangan dan semata-mata membela kepentingan bangsa yang bersifat umum.


Anies dan Ganjar adalah aktivis mahasiswa yang berhasil menjadi saripati dari inti kekuatan politik kaum muda Indonesia. Mereka berdua berasal dari kampus yang sama. Sebuah kampus yang berada di Ibu Kota perjuangan, Yogyakarta. Dan perguruan tinggi yang diberi nama Mahapati Gajah Mada dari Kerajaan Mojopahit.


Rupanya, 10 tahun terakhir, UGM menjadi sumber kepemimpinan nasional. Presiden Jokowi termasuk Kagama (Keluarga Alumni Universitas Gajah Mada). Dua calon presiden potensial yang diusung oleh Koalisi Perubahan Untuk Persatuan dan PDIP juga sealmamater dengan presiden petahana. Naga-naganya, penerus presiden asal Solo juga alumni kampus biru ini.


Karena itu, sangat tak relevan membawa simbol HMI dan GMNI dalam Pilpres 2024. Sebab, sejatinya penerus presiden Jokowi adalah "Presiden Gajah Mada". Dimana Presiden Jokowi juga Presiden Gajah Mada itu sendiri. Seorang pemimpin yang diharapkan membawa Indonesia pada kejayaan Kerajaan Mojopahit pada masa Raja Hayam Wuruk dan Mahapati Gajah Mada.


Jadi, Presiden Gajah Mada bukan sebuah nama, bukan pula trah kekuasaan politik, melainkan siapa pun presiden Indonesia yang membawa visi kenusantaraan yang berdasarkan filosofi Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetap satu jua), dan Eka Prasetia Pancakarsa (satu janji mewujudkan lima kehendak) dari Pancasila.


Agus Aris Munandar dalam buku Gajah Mada, Biografi Politik, menggambarkan sosok Gajah Mada sebagai seorang yang taat menjalani perintah raja dan bringas dalam menghadapi hambatan dan rintangan dari kemajuan negara. Putra dari Gajah Pagon ini merupakan Bayangkari negara yang melindungi raja dan kerajaan dari pemberontakan, serta panglima yang memimpin penaklukan kerajaan lain di bawah kuasa Mojopahit.


Mojopahit adalah imperium Hindu-Buddha terakhir menguasai Nusantara. Dan imperium ini merupakan monarki terbesar dalam sejarah Indonesia. Menurut Negarakertagama, wilayah kekuasaannya terbentang  luas dari Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Filipina (Kepulauan Sulu, Manila (Saludung), Sulawesi, Papua, dan lainnya.


Guru Besar Arkeologi Asia Tenggara National University of Singapore John N. Miksic, penetrasi kekuasaan Mojopahit di Sumatra, Singapura dan Thailand di atas dibuktikan dari pengaruh kebudayaan, corak bangunan, candi, patung dan seni. Bahkan ada perguruan silat bernama Kali Mojopahit yang populer di Filipina dengan anggotanya dari Asia dan Amerika. Perguruan pecak silat ni mengklaim berakar dari seni bela diri imperium Mojopahit kuno tersebut.


Pengakuan terhadap eksistensi dan pengaruh Mojopahit tak lepas dari peran Gajah Mada. Seorang politisi dan negarawan yang kuat dalam menjaga integrasi nasional, namun juga kokoh dalam menyebarkan kebudayaan ke dunia luar. Anies dan Ganjar tak hanya diharap membawa kapal Indonesia sebagai _spirit of Mojopahit_. Dalam kenangan Takajo Yoshiaki yang membiayai pembuatan Kapal Mojopahit, Indonesia dan Jepang pada masa itu pernah bekerjasama melawan Kerajaan Yuan China Mongol di Perang Samudera Pasifik.


Dalam konteks visi kenusantaraan Gajah Mada di atas, dalam pemilihan pemimpin di negeri ini bukan zamannya mengibarkan bendera HMI atau GMNI atau ormas atau parpol, tapi mengobarkan _Spirit of Mojopahit_ dalam memenangkan persaingan global. Siapakah dari Gajah Mada-Gajah Mada muda yang paling berpeluang membawa Indonesia dalam kancah pergaulan dunia. Apakah Anies ataukah Ganjar? Semua berpulang pada suara rakyat pada Pilpres 2024.


*Penulis adalah Pendiri Eksan Institute dan Penulis Buku Kerikil di Balik Sepatu Anies.

Bagikan:

Komentar