|
Menu Close Menu

Loyalitas Barokah: Teladan Nabi Ibrahim-Nabi Ismail

Jumat, 23 Juni 2023 | 11.28 WIB



Oleh: Heri Cahyo Bagus Setiawan, 

(Founder Santripreneur Academy Nusantara)


Lensajatim.id, Opini-Bicara loyalitas adalah bicara tentang kesetiaan. Lalu apa kaitanya dengan Nabi Ibrahim, Nabi Ismail dan Siti Hajar? Bagaimana menerjemahkan loyalitas yang barokah? Ternyata dari tiga potret tokoh terebut memberikan sebuah gambaran konkrit seorang hamba yang loyal kepada Allah yang patut dijadikan teladan. 


Loyalitas dan Barokah

Loyalitas berasal dari bahasa inggris “loyal” yang artinya setia. --Selalu ada kesetiaan dalam loyalitas--. Tanpa loyalitas, apa yang kita lakukan hanya akan menjadi rutinitas semata. Loyalitas tumbuh agar kita selalu aware dan menghargai apa yang dimiliki. Tanpa adanya loyalitas, bekerja akan menjadi asal-asalan dan menumbuhkan egosentris karena tidak punya rasa memiliki.


Dalam konteks profesi atau dalam suatu organisasi misalkan, loyalitas lebih dekat pada kesetiaan, karena memang kata kestiaan lebih tepat jika dikaitkan dengan kata profesi atau dalam suatu organisasi. Jadi makna yang terkandung dalam “loyalitas” adalah kesetiaan pengabdian pada profesi yang penuh dengan tanggung jawab dan siap berkorban demi pengabdian pada profesi.


Barokah dalam bahasa Arab bermakna tetapnya sesuatu, dan bisa juga bermakna bertambah atau berkembangnya sesuatu. Barokah menurut kamus Al Muhith, berawal dari arti kata growth bergerak, tumbuh-berkembang dan bahagia. Para ulama kemudian mendefinisikan barokah sebagai “bertambahnya manfaat dan kebaikan dalam setiap hal yang kita lakukan waktu demi waktu”. Ada juga yang mengartikan barokah sebagai kebaikan berlimpah yang diberikan oleh Allah kepada siapa saja yang dikehendakinya. Barokah juga dapat diartikan sebagai kepekaan untuk selalu bersikap baik dan benar.

Ibnu Qayyim mendefinisikan Barokah adalah semakin dekatnya kita kepada Allah SWT. Pengertian ini amat dipegang teguh oleh ulama. Jika ada seseorang berkata “Semoga Allah memberi barokah untuk mu” maka yang dimaksud adalah semoga Allah selalu mendatangkan kebaikan dan manfaat bagimu sehingga semakin dekat kepadanya.


Loyalitas artinya kesetiaan dan bahkan bisa disebut sebagai pengabdian. --Seseorang akan disebut loyal atau loyalitas yang tinggi jika mau mengikuti apa yang diperintahkan--. Barokah tidak hanya cukup dan mencukupi saja, tapi barokah adalah, ketaatan kita kepada Allah SWT dengan segala keadaan yang ada, baik dalam keadaan berlimpah atau sebaliknya. “Albarokatu tuziidukum fii thoah” (Barokah menambah taatmu kepada Allah). Sebagai pemimpin di Bumi seorang hamba Allah yang taat dan “loyal” untuk mengabdi dan menerima perintah dan berhasil mengalahkan kepentingannya demi loyalitasnya kepada Allah SWT, maka ia tergolong sebagai hambah yang senantiasa akan mendapat barokah dari Allah SWT. Hidupnya selalu berkembang-kembang, growth bertumbuh atau Mekrok istilah dalam bahasa Jawa.


Perjalanan Spiritual Nabi Ibrahim, Ismail dan Siti Hajar


Nabi Ibrahim yang dikenal sosok Nabi yang selalu tabah dalam menghadapi berbagai ujian, meski ujian yang terberat untuk mengorbankan anaknya (Nabi Ismail) untuk kepentingan Tuhan melalui  Ar Ru’yah Ash Shadiqoh (Mimpi yang benar) agar menyembelih anaknya (Nabi Ismail). Dengan berbekal iman yang kuat atas perintah Allah, Nabi Ibrahim pun merenung dan berfikir dan bertanya-tanya dalam hati sebagai seorang ayah yang baru saja dikaruniai seorang putra (Ismail) setelah puluhan tahun diharapkan, didambakan dan disayangi tiba-tiba Allah SWT memerintahkan untuk dijadikan qurban dan harus direnggut oleh ayahnya sendiri? Sungguh sangat berat ujian yang dihadapi oleh Nabi Ibrahim, namun sesuai dengan firman Allah : “Allah lebih mengetahui dimana dan kepada siapa dia mengamanatkan risalahnya”. Dengan tekatd dan keyakinan yang kuat bahwa ini perintah Allah. Nabi Ibrahim pun menuju ke Mekkah untuk menemui dan menyampaikan kepada puteranya atas apa yang Allah perintahkan. Nabi Ismail sebagai anak yang soleh yang sangat taat kepada Allah dan bakti kepada orang tuannya, ketika Nabi Ibrahim berkata kepada Ismail anaknya tentang pendapatnya mengenai perintah Allah untuk disebelih: “Duhai anakku, aku telah bermimpi didalam tidur seolah-olah saya menyembelih kamu, maka bagaimana pendapatmu?”.


Ismail pun menjawab: “Duhai ayahku lakukan apa yang diperintahkan kepadamu, maka kelak engkau akan dapati aku termasuk orang-orang yang shabar dan patuh kepada perintah. Aku hanya ingin meminta ketika melaksanakan perintah Allah itu, pertama; agar ayah mengikatku kuat-kuat supaya aku tidak banyak bergerak sehingga itu menyusahkan ayah. Kedua; agar ayah meninggalkan pakaianku supaya tidak terkena darah yang menyebabkan berkurangnya pahalaku ketika ibuku melihatnya.  Ketiga; tajamkan pedangmu dan percepatlah pelaksanaan penyembelihan agar meringankan penderitaan dan rasa sakitku. Keempat; terakhir sampaikanlah salamku kepada ibuku berikanlah kepadanya pakaianku ini untuk menjadi penghibur dalam kesedihan dan tanda mata serta kenang-kenangan baginya dari putera tunggalnya.”


Kemudian dipeluknya Ismail dan dicium oleh Nabi Ibrahim ambil berkata: “Bahagialah aku mempunyai seorang putera yang taat kepada Allah, baik kepada orang tua yang ikhlas hati menyerahkan dirinya untuk melaksanakan perintah Allah”.


Meski pada akhirnya dengan memejamkan matanya, pedang diletakan pada leher Nabi Ismail dan penyembelihan dilakukan, ternyata pedang tersebut tumpul di leher Nabi Ismail dan tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya dan sebagaimana diharapkan. Dalam keadaan bingung dan sedih hati karena gagal dalam usaha penyembelihan kepada puteranya (Nabi Ismail), kemudian datanglah kepada Nabi Ibrahim wahyu Allah dengan firmanya: “Wahai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpimu itu sesungguhnya demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan besar”. Kemudian sebagai ganti nyawa Ismail yang telah diselamatkan itu, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim menyembelih seekor kambing yang tersedia disampingnya dan segera dipotong leher itu yang dilakukan oleh umat Islam pada setiap hari raya Idul Adha di seluruh dunia.


Artinya Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail mengikhlaskan dan menerima perintah dari Allah sebagai taabudi (Bentuk ketaatan) bukan taaquli (Rasional), dengan mengorbankan segala kepentingan pribadinya memenuhi perintah Allah tanpa memikirkan apa yang akan terjadi kemudian. Keyakinan yang kuat perintah Allah SWT tentu tanpa maksud kecuali tujuan kemaslahatan bagi hambanya, walaupun perintah itu tidak rasional.


Perintah Allah SWT kepada Nabi Ibrahim agar menyembelih putranya (Nabi Ismail) sejatinya menguji kesetiaan dan loyalitasnya kepada Allah SWT, sekilas memang nampak janggal, ketika seorang nabi seperti Nabi Ibrahim masih perlu dilakukan uji kesetiaan dan ketaatan, namun kejanggalan ini akan segera hilang manakala kita menyadari bahwa kehadiran para nabi adalah untuk memberi contoh kepada umatnya. Logikanya, apabila seorang nabi saja masih diuji loyalitasnya dan ketaatannya pada Allah SWT, apalagi manusia-manusia lain yang bukan nabi tentu lebih layak untuk diuji. Kalau Nabi Ibrahim diuji oleh Allah agar menyembelih putranya (Nabi Islami), maka manusia diuji untuk menyembelih hartanya yang disimbolkan dengan binatang ternak, karena harta dan anak menurut Al Qur’an dianggap sebagai perhiasan dunia sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah dalam Surat QS Al Khfi ayat 46, “Harta dan anak adalah perhiasan kehidupan dunia”. Agar manusia bisa betul-betul taqarrub kepada Allah, maka ia harus mau mengorbankan segala bentuk perhiasan dunia yang ada padanya, dalam arti lebih mendahulukan perintah Allah dibanding dengan kepentingan nafsu dan kepentingan pribadinya.


Nabi Ibrahim di uji loyalitasnya sebagai hamba oleh Allah SWT agar menyembelih putranya (Nabi Ismail) telah berhasil mengalahkan kepentingannya demi loyalitas-ketaatannya kepada Allah SWT, padahal ujian yang diberikan kepada beliau adalah luar biasa berat, sebagaimana yang digambarkan dalam Al Quran Surat Ash Shaffat ayat 106 yaitu ujian yang nyata. Nabi Ismail dikenal oleh Nabi yang taat untuk menerima perintah Allah SWT untuk disembelih. Siti Hajar yang selalu tabah, sabar dan tawakkal ketika menggendong anaknya mondar-mandir Sofa-Marwah dengan tidak membawa perbekalan apapun untuk persediaan makan dan minum.


Tiga potret manusia pilihan dengan kelebihan diluar kelebihan manusia yang biasa memberikan inspirasi kepada kita untuk mengenang perjuangan yang tiada henti meski dihantam dan diuji berbagai macam ujian. Semangat yang harus di teruskan untuk menghadapi masa depan yang lebih baik di dunia dan akhirat. Barokah dari uji kesabaran, tawakkal, taat dan ujian loyalitas kesetiaanya kepada Allah SWT berbuah kemuliaan dan momen sejarah kemenangan yang diabadikan oleh seluruh umat nabi Muhammad SAW di seluruh dunia hingga hari ini yakni ibadah qurban. Setidaknya, semangat Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, dan Siti Hajar terus digelorakan oleh anak cucunya. Semangat, tabah, sabar dan tawakkal harus melembaga dalam hati. 

Bagikan:

Komentar