|
Menu Close Menu

Market Place Guru Solusi atau Masalahkah bagi Pendidikan di Indonesia ?

Rabu, 14 Juni 2023 | 14.25 WIB



OLEH ACH ZAINUDDIN


Lensajatim.id, Opini- “Masalah ini melampaui kesalahan dalam penggunaan istilah "marketplace" yang menyamakan pendidik dengan barang dagangan. Lebih penting lagi, program ini sebenarnya berasal dari paradigma kapitalis, di mana pasar menentukan arah sistem pendidikan ini. Pemerintah hanya berperan sebagai regulator, bukan pengelola dan pelayan masyarakat.”



Nadiem Makarim, sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, telah mencetuskan ide baru bernama Marketplace Guru untuk mengatasi permasalahan pendidikan di Indonesia. Namun, pertanyaannya adalah apakah program ini dapat efektif mengatasi masalah mendasar ketidakmerataan guru? Dalam konteks ini, bagaimana Islam memandang persoalan tersebut?


Nadiem menyatakan bahwa Marketplace Guru adalah sebuah langkah untuk mengatasi masalah yang telah terjadi selama bertahun-tahun dengan tenaga guru honorer. Dia mengakui bahwa rencana ini telah dibahas bersama tiga kementerian lainnya, yaitu Kementerian Keuangan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, serta Kementerian Dalam Negeri. Bahkan, Nadiem telah menyampaikan rencana ini dalam Rapat Kerja dengan Komisi X DPR RI, dan program ini direncanakan untuk diluncurkan pada tahun 2024.


Dijelaskan Nadiem, Marketplace Guru merupakan basis data dengan dukungan teknologi agar calon guru bisa diakses oleh semua sekolah. Platform ini disebut sebagai media atau wadah perekrutan guru, di mana pihak sekolah bisa mencari siapa saja yang dapat menjadi guru dan mengundangnya sesuai kebutuhan sekolah. (Liputan6.com, 3/6/2023)


Program baru yang diumumkan oleh Nadiem telah menuai kritik dari seorang pengamat pendidikan, Triyanto, yang berasal dari Universitas Sebelas Maret (UNS). Triyanto mengungkapkan bahwa penggunaan kata "marketplace" dalam konteks tersebut dianggap merendahkan posisi guru sebagai pendidik dan merusak martabat mereka. Menempatkan guru dalam konotasi seolah-olah mereka adalah barang dagangan tidaklah pantas, mengingat profesi guru adalah sebuah profesi yang mulia.


Dalam hal ini, disampaikan bahwa Marketplace Guru tidak sepenuhnya mampu menangani persoalan guru yang kompleks di negara ini. Ada beberapa isu yang perlu diselesaikan terkait guru.


Pertama, penting untuk meningkatkan kualitas calon guru. Kualitas pendidikan sangat bergantung pada kualitas guru. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah dengan memperhatikan kualitas guru yang direkrut.


Kedua, distribusi guru yang tidak merata menjadi masalah. Banyak sekolah mengalami kekurangan guru, sementara lulusan Program Pendidikan Profesi Kependidikan (PPPK) dan Program Pendidikan Guru (PPG) kesulitan menemukan penempatan. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai cukupnya anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah untuk mengatasi masalah ini.


Ketiga, keterbatasan dana menjadi kendala dalam menjalankan program Marketplace Guru, baik di sekolah negeri maupun swasta. Sekolah perlu mampu memberikan gaji yang layak kepada guru jika mereka terdaftar di marketplace. Namun, kenyataannya tidak semua sekolah mampu mencapai tahap tersebut karena keterbatasan sumber daya keuangan.


Dengan demikian, perlu adanya solusi yang holistik dan komprehensif untuk menangani persoalan guru. Memperbaiki kualitas calon guru, memperbaiki distribusi guru yang merata, dan mencari solusi untuk keterbatasan dana adalah beberapa langkah yang dapat diambil untuk meningkatkan kondisi pendidikan di negara ini.


Tidak Menyelesaikan Persoalan Mendasar


Program Marketplace Guru tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk mengatasi masalah mendasar yang terkait dengan ketidakmerataan penyebaran tenaga pendidik dan ketimpangan nasib guru honorer. Sebaliknya, penggunaan platform ini berpotensi memperburuk masalah yang ada.


Salah satu alasan utama adalah kemungkinan terjadinya nepotisme dan praktik korupsi jika sekolah diberikan kekuasaan penuh dalam perekrutan Aparatur Sipil Negara (ASN). Dalam hal ini, sekolah dapat memilih guru berdasarkan hubungan keluarga atau memberikan imbalan tambahan kepada mereka yang mampu memberikan suap.


Selain itu, Marketplace Guru tidak dapat mengatasi masalah penyebaran guru secara merata. Guru honorer umumnya enggan mendaftar ke sekolah-sekolah di daerah terpencil karena kurangnya jaminan kesejahteraan dan kurangnya fasilitas yang tersedia di sekolah-sekolah tersebut dibandingkan dengan di kota.


Akibatnya, sekolah-sekolah dengan fasilitas yang lebih baik akan lebih mampu merekrut guru berkualitas, sedangkan sekolah yang terbatas dalam hal sumber daya keuangan, fasilitas, dan berlokasi jauh dari perkotaan akan menghadapi kesulitan dalam mendapatkan guru yang berkualitas. Hal ini akan semakin memperlebar kesenjangan antara sekolah-sekolah.


Selanjutnya, fokus yang teralihkan hanya pada prestasi akademik seperti penelitian, tanpa mempertimbangkan kualitas pengajaran, juga menjadi masalah. Padahal, yang paling dibutuhkan oleh para siswa adalah kemampuan guru untuk secara efektif mentransfer pengetahuan kepada mereka. Keadaan ini berpotensi mengancam kualitas generasi mendatang.


Secara keseluruhan, Marketplace Guru tidak mampu menangani masalah mendasar terkait ketidakmerataan penyebaran tenaga pendidik dan ketimpangan nasib guru honorer. Sebaliknya, penggunaan platform ini berpotensi memperburuk masalah dengan kemungkinan nepotisme, ketimpangan fasilitas sekolah, dan fokus yang salah dalam menilai kompetensi guru.

AKAR PERSOALAN

Jika diperiksa lebih lanjut, isu ini tidak hanya berkaitan dengan penggunaan istilah "marketplace" yang tidak tepat dalam menyamakan tenaga pendidik dengan barang dagangan. Lebih dari itu, program ini sebenarnya berasal dari paradigma kapitalis, yang berarti bahwa sistem pendidikan ini ditentukan oleh pasar. Sementara itu, peran negara hanya sebatas sebagai regulator, bukan pengurus dan pelayan masyarakat.


Namun, mendapatkan pelayanan pendidikan seharusnya menjadi hak semua warga negara, baik yang kaya maupun yang miskin. Jika distribusi guru diserahkan sepenuhnya kepada pasar, hanya mereka yang berkecukupanlah yang mampu mendapatkan guru berkualitas.


Sistem kapitalisme juga membuat motivasi individu guru hanya terfokus pada pencapaian materi. Pengabdian mereka dalam menyampaikan ilmu dipandang sebagai jasa yang diperdagangkan. Semakin berkualitas mereka, semakin tinggi pula bayarannya. Hal yang sama berlaku dalam persaingan antara sekolah-sekolah. Persaingan ini membuat siswa hanya fokus pada prestasi dalam berbagai bidang. Akibatnya, tujuan mulia dari sistem pendidikan untuk menghasilkan siswa yang bermanfaat bagi masyarakat akhirnya terlupakan.


Dengan demikian, pernyataan di atas menunjukkan bahwa masalah ini melampaui sekadar istilah yang tidak tepat dalam menggambarkan pendidikan sebagai marketplace. Masalah ini berkaitan dengan paradigma kapitalis yang menentukan sistem pendidikan dan memberikan pengaruh negatif terhadap pemerataan akses pendidikan, motivasi guru, serta fokus siswa dalam mencapai prestasi yang serba-eksis.


BUKTI NEGARA LEMAH


Program ini membuktikan kegagalan negara dalam mengatur distribusi guru. Seharusnya pemerintah dapat mengatasi masalah ini dengan mengorganisir distribusi guru secara langsung ke setiap wilayah berdasarkan spesifikasi dan kompetensi mereka. Karena pemerintah memiliki akses ke data yang akurat, ketimpangan dalam jumlah guru dapat diminimalisir.


Salah satu penyebab guru enggan ditempatkan di daerah terpencil adalah kurangnya jaminan kesejahteraan. Jika pemerintah dapat menjamin kesejahteraan mereka, maka masalah ketimpangan guru dapat diatasi. Hal yang sama berlaku untuk masalah jumlah guru honorer yang banyak, mereka dapat dengan cepat ditempatkan.


Namun, persoalan ini sulit teratasi dalam negara dengan sistem kapitalistik. Sistem keuangan negara yang lemah mengandalkan utang untuk pembiayaan negara, yang pada gilirannya menyebabkan defisit APBN yang terus meningkat. Akibatnya, pemerintah tidak mampu secara merata meningkatkan kesejahteraan para guru dan menyediakan fasilitas sekolah berkualitas.


ISLAM MENJAMIN KESEJAHTERAAN GURU


Dalam perspektif Islam, pendidikan dianggap sebagai kebutuhan dasar manusia yang harus dijamin oleh negara tanpa ada perbedaan. Negara akan menggunakan kekuatan baitulmal (kas negara) untuk mengatasi ketimpangan fasilitas antara kota dan desa dengan fokus pada pembangunan infrastruktur demi kemaslahatan umat, bukan keuntungan pribadi. Pembangunan sekolah akan dilakukan secara massif dengan fasilitas terbaik dan terdepan.


Dalam Islam, posisi guru dianggap mulia karena mereka berperan dalam mencetak generasi yang berkepribadian Islam dan mampu menjadi mutiara umat. Oleh karena itu, kesejahteraan guru akan diperhatikan dengan baik sehingga mereka dapat fokus pada kegiatan belajar mengajar. Sebagai contoh, pada masa Kekhalifahan Abbasiyah, para guru diberi gaji yang besar. Imam Suyuthi telah menyampaikan bahwa Sultan Shalahuddin memberikan gaji sebesar 40 dinar per bulan kepada setiap pengajar (sekitar Rp156 juta saat ini) dan 10 dinar kepada pengelola madrasah (sekitar Rp39 juta saat ini). Selain gaji, mereka juga diberi tunjangan harian berupa makanan pokok.


Tidak hanya guru yang sejahtera, fasilitas sekolah juga dibangun dengan kualitas terbaik pada masanya. Sebagai contoh, Universitas Cordoba yang didirikan pada masa Bani Umayyah memiliki perpustakaan yang megah yang dapat menampung 400.000 pengunjung. Sekolah dan perpustakaan yang dibangun pada masa Khalifah Al-Hakam al-Muntasir juga sangat mudah diakses oleh seluruh warga negara, termasuk anak-anak miskin. Pendidikan yang disediakan ini merupakan tanggung jawab penguasa Islam dalam mengurus urusan umat yang akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah.


Sebagai pemimpin, tanggung jawab seorang Imam atau penguasa dianggap seperti penggembala yang akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya. Hal ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Ahmad bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Imam itu laksana penggembala, dia akan dimintai pertanggung jawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya)."

Bagikan:

Komentar