|
Menu Close Menu

Relawan MMD Kritisi Keputusan MKMK Soal Sanksi kepada Anwar Usman, Begini Alasannya

Rabu, 08 November 2023 | 16.37 WIB

Mohammad Supriyadi, Ketua Relawan MMD (sebelah kiri) saat berfoto dengan Cawapres Mahfud MD dalam acara pendaftaran ke KPU RI. (Dok/Istimewa).


Lensajatim.id, Jakarta– Keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang hanya memberhentikan Anwar Usman dari jabatan ketua MK mendapat reaksi keras dari Relawan Mahfud MD (Relawan MMD). Ketua Relawan MMD, Mohammad Supriyadi, mengaku kecewa atas keputusan tersebut. Ia mengritisi putusan MKMK itu karena masih mempertahankan paman Gibran Rakabuming Raka itu sebagai hakim MK.


“Sanksi pemberhentian Anwar Usman hanya sebagai ketua MK rasanya mencederai kepuasan publik. Anwar terbukti melakukan pelanggaran etik berat sehingga mestinya disanksi dengan pemberhentian dengan tidak hormat (PDTH) sebagai hakim MK,” terang Supriyadi, dalam keterangan persnya, Rabu (08/11/2023).


Supriyadi menyebutkan, pelanggaran etik berat tidak bisa hanya diganjar sanksi administratif, tetapi mesti mengedepankan prinsip etik. Pasalnya, bagi Supriyadi, etik itu melekat pada karakter, mental, dan moral hakim. Pelanggaran etik berat sebagaimana diatur dalam Peraturan PMK Pasal 41 memang harusnya dipecat tidak hormat sebagai hakim.


“Problem etik memang harusnya berdiri di atas prosedur hukum. Ada nurani berjuta orang di Republik ini yang melihat bahwa ada kesemrawutan moral putusan yang dilakukan oleh Anwar Usman dan menciderai moral bangsa. Tentu ini pelanggaran berat yang tak bisa ditolerir,” terang Supriyadi.


“Anwar Usman terbukti melanggar etik berat buntut keputusannya tentang putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia capres-cawapres. Putusan itu lalu meloloskan keponakannya sebagai cawapres. Selain cacat etik, putusan itu juga sarat nepotisme, dosa demokrasi yang tak terampuni,” lanjut dia.


Putusan tentang batas usia capres-cawapres yang meloloskan Gibran, kata Supriyadi, secara kentara menunjukkan kongkalikong kepentingan. Banyak orang lalu menyebut Mahkamah Konstitusi sebagai Mahkamah Keluarga. Marwah lembaga sebagai pilar konstitusi tampak buruk buntut putusan Anwar Usman itu.


“Publik menilai ada kepentingan elektoral di balik diloloskannya Gibran. Sebagian lain menyebut ada kuasa kuat oligarki yang ‘cawe-cawe’ dalama rangka meloloskan Gibran. Tentu semua persepsi itu buruk terhadap reputasi dan marwah MK sebagai gawang utama konstitusi,” kata Ketua Jaringan Pengusaha Nasional Jawa Timur itu.


“Publik marah dan kecewa karena memang ini menyangkut keberlangsungan bangsa yang potensial dipimpin oleh orang yang sejak awal dipilih secara tidak jujur melalui keputusan sepihak yang cacat secara etik. Itu problemnya,” terusnya.


Menurut Supriyadi, publik Indonesia kini cerdas menilai putusan MK soal batas usia capres-cawapres itu cacat secara etik. Meski pub akhirnya Gibran tetap melanggeng mendampingi Prabowo Subianto sebagai cawapres, masyarakat akan melihat itu sebagai usaha elektoral yang tak sehat, tak jujur, dan tak etik.


“Hari ini publik melihat putusan MK dengan meloloskan Gibran itu bukan lagi pada prosedur hukum, tetapi berpindah pada prinsip etik. Mereka bukan lagi menguji legal atau tidak, tetapi legitimate atau tidak,” jelasnya.


Bagi Supriyadi, meski banyak orang kecewa atas sanksi MKMK kepada Anwar Usman, tetapi hal ini berpengaruh pada penurunan elektabilitas Prabowo-Gibran. “Orang akan mengingat bahwa Gibran lolos sebagai cawapres melalui prosedur yang cacat secara etik,” tutupnya. (Had)

Bagikan:

Komentar