![]() |
Lia Istifhama, Anggota Komite III DPD RI saat menyampaikan hasil reses dalam rapat paripurna DPRD RI di Jakarta. (Dok/Istimewa). |
Lensajatim.id, Jakarta- Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Lia Istifhama menyampaikan laporan hasil jaring aspirasi dalam sidang paripurna DPRD RI, Selasa (14/01/2025).
Anggota Komite III DPD RI ini menyampaikan beberapa persoalan mulai dari Program Makan Bergizi Gratis dan Pengawasan atas Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Khususnya Penetapan Upah Minimum Tahun 2025.
Pertama, politisi yang akrab disapa Ning Lia ini menyampaikan soal UMP dan Harmonisasi Perusahaan – Pekerja. Menurut Ning Lia, di Jawa Timur, penerapan Upah Minimum sudah mencerminkan keterlibatan Pemprov dengan serikat kerja atau kelompok buruh dan implementasi atas asas keadilan sebagai salah satu gebrakan Jawa Timur. Namun memang harus diakui potensi mispersepsi antara perusahaan dan pekerja.
“Mispersepsi ini bisa rentan terjadi pada sektor manufaktur padat karya. Oleh sebab itu, sosialisasi secara utuh harus terus diterapkan. Sebagai contoh, kenaikan UMP 2025 harus naik 6,5 persen?," jelasnya.
Itu kemudian, kata Ning Lia dapat dijelaskan bahwa kenaikan ini harus ditunjang produktivitas kerja, sehingga menjadi kenaikan win-win solution. " Jadi sektor usaha pun semakin suistanability atau terus bertahan bahkan maju karena pekerja pun semakin semangat dan bergairah bekerja," tambahnya.
Kemudian yang kedua, Keponakan Gubernur Jawa Timur terpilih Khofiifah Indar Parawansa ini menyampaikan soal UMP dan Perbedaan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) Antar Daerah
“Di lapangan, masih ada pekerja yang menyampaikan bahwa penetapan upah minimum masih belum mencerminkan kebutuhan hidup layak (KHL), dalam hal ini UMP diikuti inflasi atau kenaikan harga barang pokok yang menyebabkan kedua hal ini sering berkejaran. Ini kan juga PR,” ungkap Ning Lia.
Ditambahkan olehnya, masalah KHL tersebut akibat ketimpangan ekonomi antar daerah. Oleh sebab itu, keberdayaan ekonomi daerah sangat penting sebagai kekuatan menahan inflasi.
Berikutnya yang ketiga adalah Keberdayaan ekonomi daerah dan mobilitas tenaga kerja. Ini Bukan hanya sebagai kekuatan menahan inflasi, keberdayaan ekonomi daerah juga perwujudan pemerataan industri. Dengan kata lain, antisipasi sentralisasi pusat industri kerja pada daerah tertentu saja sehingga berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial antar masyarakat.
Ia pun menambahkan hubungan antara keberdayaan ekonomi dengan potensi mobilitas tenaga kerja.
“Dengan adanya perbedaan keberdayaan ekonomi daerah yang terwujud dalam perbedaan signifikan dalam penetapan upah minimum, tentu memicu gelombang mobilitas tenaga kerja pada wilayah tertentu. Maka, terjadi gelombang dunia kerja yang kontradiktif dengan prinsip penguatan potensi lokal," paparnya.
“Dalam hal ini, terdapat Kabupaten Kota yang dianggap tidak memenuhi preferensi dunia kerja bagi masyarakat setempat. Potensi sama tentunya bisa dialami pada tingkat Propinsi yang mana masyarakat akan memilih bekerja di Propinsi lain dengan pertimbangan nilai Upah Minimum lebih tinggi namun justru mengabaikan high cost dalam biaya hidup, termasuk akomodasi dan transportasi,” imbuhnya.
Ning Lia lalu menyebutkan yang keempat adalah Sentralisasi gelombang kerja dan kemampuan fiskal dalam penerapan Otoda. Dalam hal ini Senator cantik itu menegaskan problem sentralisasi gelombang kerja sulit teratasi pasca penerapan kemampuan fiskal daerah yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) terhadap Kemampuan Fiskal Daerah.
“Berlakunya UU HKPD yang mengubah skema bagi hasil menjadi opsen untuk pajak kendaraan bermotor (opsen PKB) berdampak pada kemampuan fiskal di Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Kabupaten/Kota," beber Ning Lia.
Pada Pemprov Jatim misalnya, ini mengalami potensial loss sebesar sekitar 4 triliun dari proyeksi target di tahun 2024 dengan tahun 2025 nanti padahal pemprov selama ini mencoba menjalankan skema sharing anggaran atau subsidi silang pada daerah yang minim pendapatan daerah. Selain berdampak bagi Pemprov, juga pengurangan pendapatan juga berpotensi terjadi pada 14 Kabupaten Kota di Jawa Timur.
Ia pun menambahkan sebab dari ketimpangan pendapatan akibat opsen PKB itu.Sebenarnya, skema OTODA atau otonomi daerah pasti diharapkan sebagai supported system pemerataan ekonomi. Namun harus diakui pada wilayah tertentu ternyata ini menjadi kendala terwujudnya keadilan ekonomi.
“Pemberlakuan opsen PKB tersebut misalnya, pada dasarnya lebih menguntungkan bagi daerah yang memiliki jumlah populasi kendaraan bermotor terdaftar yang banyak, sedangkan daerah dengan populasi kendaraan bermotor terdaftar yang sedikit akan menerima bagian dari opsen PKB yang sedikit. Maka asas pemerataannya (horizontal in balance) tidak dapat terpenuhi," ungkapnya.
“Dampak lebih lanjut, ini semakin menguatkan sentralisasi gelombang tenaga kerja pada wilayah tertentu, akibatnya daerah yang kurang berdaya ekonomi semakin ditinggal oleh tenaga kerja produktif dan sektor agraris pun semakin ditinggalkan,"jelasnya.
Dan yang kelima adalah potensi turunnya investasi harus dikejar dengan produktivitas kerja.Penerapan penyeragaman UMP 6,5 sesuai instruksi Peraturan Presiden Prabowo Subianto memang sangat positif. " Namun kita harus melihat aspek permasalahan yang berdampak pada Sektor Usaha, terutama beban biaya produksi pengusaha Kecil dan Menengah. Oleh sebab itu, agar secara lingkup besar tidak menjadi potensi turunnya investasi, maka produktivitas kerja harus semakin positif," ucap Ning Lia.
Ia pun menambahkan produktivitas kerja harus menjadi budaya kerja.Sebenarnya kata Ning Lia, penerapan UMP atau upah minimun propinsi di Jawa Timur telah direalisasikan pada sektor industri tertentu yang dianggap mampu menerapkan sebagai bentuk kesejahteraan tenaga kerja. Namun, kan berharap penyeragaman ini bisa mencakup banyak sektor industri. Maka dorongan utama peningkatan sektor industri adalah meningkatnya produktivitas kerja.
“Adalah tugas kita bersama untuk sama-sama membentuk budaya kerja yang memiliki keberlanjutan. Bagaimana tenaga kerja semakin produktif, perusahaan semakin maju, dan kesejahteraan tenaga kerja semakin terjamin hingga masa tua,” pungkas Tokoh Muda Nahdliyin Inspiratif Versi Forkom Jurnalis Nahdliyin ini. (Had).
Komentar