|
Menu Close Menu

Jangan Jarah Pulau dan Lautan Indonesia !

Rabu, 12 Februari 2025 | 22.04 WIB



Oleh: Ribut Baidi*) 


Lensajatim.id, Opini- Yudi Latif (2011) telah menulis tentang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan titik strategis yang membujur di persilangan antarbenua dan antar samudra, berikut daya tarik kekayaan sumber daya alam yang melimpah, telah menjadikan Indonesia sebagai titik-temu penjelajahan bahari yang membawa pelbagai arus peradaban serta menjadi tamansari peradaban dunia. Tidaklah mengherankan, jika banyak negara-negara di dunia melirik Indonesia sebagai sebuah negara yang besar, berpotensi sangat maju, dan bisa dijadikan mitra-strategis dari aspek investasi ekonomi, kerjasama politik intenasional, rujukan peradaban dunia, dan pendulum perdamaian. Oleh sebab itu, Indonesia sebagai negara yang besar dan beradab dengan semua potensi yang dimiliki harus dirawat sebaik-baiknya, baik oleh pemerintah maupun kita selaku rakyat Indonesia.


Tantangan di Masa Depan

Pulau dan lautan yang menjadi salah satu ciri khas dan salah satu aset kekayaan Indonesia, tentu memiliki potensi besar untuk kemajuan dan peningkatan ekonomi nasional yang diperuntukkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat di luar potensi-potensi aset kekayaan lainnya sebagaimana bunyi Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945. 


Di sisi lain, aset pulau dan lautan akan memiliki resiko besar untuk direbut dan dimiliki oleh negara lain maupun oleh individu dengan kekuatan modal (capital) yang besar. Rasa traumatik kehilangan pulau itu pernah dirasakan oleh bangsa Indonesia ketika Sipadan dan Ligitan diklaim milik Malaysia. Kemudian diperkuat oleh keputusan Mahkamah Internasional pada tahun 2002 bahwa kedua pulau tersebut sah dimiliki oleh Malaysia. Tidak hanya berhenti pada Sipadan dan Ligitan, negara tetangga tersebut juga mengklaim Sebatik. Polemik Sebatik ini kemudian diselesaikan dengan cara outstanding boundary problem (OBP) atau penyelesaian permasalahan batas wilayah antara kedua negara pada tahun 2019. Perairan Sambas dan Natuna pun tidak luput dari upaya perampasan oleh pihak-pihak asing. Tidak hanya pada persoalan pulau, Indonesia juga pernah kehilangan wilayah teritorialnya, yakni Timor Timur yang keluar dari Indonesia dengan memerdekakan diri berubah nama menjadi Timor Leste dan diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Negara miskin tersebut, kemudian menggunakan mata uang dolar Amerika Serikat dan undang-undang yang dipakai menurut konstitusi Portugal. (https://www.viva.co.id, 2022). 


Baru-baru ini kita semua dikejutkan dengan beredarnya informasi melalui media/pers maupun media sosial (medsos) tentang adanya pagar laut di berbagai daerah Indonesia, seperti di Tangerang, Banten, Sidoarjo, dan Sumenep. Kita semua masih was-was, apakah pantai dan lautan di berbagai daerah Indonesia yang strategis juga terjadi hal yang sama dengan adanya pengkaplingan dan hak guna bangunan (HGB) yang dimiliki oleh individu dan korporasi ?. Jika hal tersebut benar-benar terjadi, maka kedaulatan wilayah lautan dan pesisir pantai milik Indonesia telah terjadi penjajahan secara terselubung yang dilakukan oleh segelintir pemilik modal yang berkongsi dengan oknum pejabat pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah. Pengkaplingan dan munculnya HGB di wilayah lautan tersebut telah melukai rasa keadilan masyarakat dan mencabik-cabik norma hukum di Republik ini.


Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 85/PUU-XI/2013 secara tegas melarang pemanfaatan ruang untuk HGB di atas perairan. Intinya, Republik kita bukan hanya darurat terhadap pelanggaran norma hukum di berbagai banyak segi, tetapi juga darurat adanya penjarahan terhadap aset negara dengan berlindung di balik regulasi dan kongsi kekuatan akses kekuasaan. Tantangan demi tantangan yang akan dihadapi pemerintah dan seluruh alat-alat kekuasaannya di masa depan, bukan hanya terfokus pada ancaman eksternal untuk merebut pulau-pulau atau wilayah (teritorial) yang sudah berdaulat di bawah negara Indonesia yang sah di mata Internasional, tetapi juga menjaga ancaman internal dari kekuatan modal segelintir orang (individu dan korporasi) yang berkongsi dengan oknum pejabat di setiap level birokrasi dari tingkat pusat sampai daerah untuk menjarah aset pantai dan lautan Indonesia.


Memperkuat Nasionalisme  

Proklamasi adalah sejarah baru pembentukan negara Indonesia secara  de facto dan de jure yang digagas oleh anak bangsa yang dipimpin oleh Soekarno dan Hatta. Republik ini menjadi merdeka dan berdaulat, baik secara individu (individual freedom) maupun secara kolektif (collective freedom) dari bentuk penjajahan yang tidak bermoral dan tidak berprikemanusiaan. Perlawanan bangsa Indonesia kepada penjajah pasca proklamasi kemerdekaan adalah fakta historis tentang hakikat kemerdekaan yang harus dipertahankan secara totalitas dan penuh pengorbanan, baik harta maupun nyawa. Kemerdekaan tersebut bukan hanya pengakuan terhadap berdirinya negara-bangsa Indonesia, melainkan kedaulatan wilayah teritorial yang menjadi bagian syarat terbentuknya negara secara absolut di luar pemerintahan yang sah dan rakyat yang dipimpin secara aklamasi. 


Nasionalisme adalah hukum yang tidak tertulis yang terus menjiwai setiap hukum tertulis di Republik ini. Nasionalisme dan hukum tertulis ibarat sebuah kapal yang berlayar di atas etika sebagai samudranya. Maka, patut kiranya kita merenungi pesan Earl Warren: “in a civilised life, law floats in a sea of ethics”. Jika kapal hukum hendak diharap berlayar dengan lancar mencapai tepian pulau keadilan, maka aliran air samudera tersebut harus tenang, dan tidak boleh mengering yang berpotensi kapal hukum tersebut tidak bisa berlayar. Dari pesan Earl Warren ini kita harus sadar bahwa menjaga Republik ini tentu dengan spirit nasionalisme yang kuat, bukan sekedar keinginan yang akan rapuh ketika dihadapkan dengan godaan modal dan kekuasaan. (*)


Penulis adalah  Dosen Hukum Lingkungan Universitas Islam Madura*) 

Bagikan:

Komentar