![]() |
Arif Fathoni, Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya.(Dok/Istimewa). |
Ketidakselarasan data bukan lagi menjadi sekadar perbedaan teknis, tetapi telah menjadi simbol lemahnya fondasi tata kelola pembangunan yang berbasis bukti. Arif Fathoni, Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya menyebutkan bahwa ego sektoral antar-lembaga masih menjadi tembok besar yang menghambat keterbukaan dan kolaborasi antarinstitusi.
“Kalau sistem kita belum bisa menanggalkan ego sektoral, maka integrasi data hanyalah mimpi. Padahal data adalah kunci utama untuk merancang dan mengevaluasi kebijakan publik,” ujar politisi Golkar, Sabtu (10/05/2025) lalu.
Fathoni menyoroti bahwa data dari BPS seharusnya dapat diakses secara penuh oleh pemerintah daerah, mengingat data tersebut adalah data primer yang vital dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan. Ia menilai tanpa akses tersebut, program pembangunan, seperti penanganan kemiskinan dan stunting, akan sulit menyasar sasaran yang tepat.
Senada dengan itu, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi dalam Sidang Pleno Munas VII APEKSI 2025 juga menyampaikan keresahan serupa. Dalam forum nasional tersebut, Eri mengungkapkan bahwa perbedaan data antara BPS dan pemerintah kota menyebabkan ketidaktepatan dalam intervensi kebijakan.
“Kalau datanya tidak sinkron, maka intervensinya juga tidak akan tepat. Syukurlah sekarang sudah ada komunikasi antara Kemendagri dan BPS untuk menyatukan data secara detail, by name by address,” jelas Eri.
Eri meyakini, jika pemerintah daerah memiliki akses terhadap data yang rinci dan real-time, maka program seperti penanganan stunting atau distribusi bantuan sosial dapat dieksekusi lebih cepat dan akurat, tanpa tergantung birokrasi pusat.
Seruan untuk mempercepat integrasi sistem satu data nasional pun semakin nyaring terdengar. Isu ini tidak hanya menjadi masalah Surabaya, tapi juga mencerminkan tantangan nasional dalam menghadapi era digital yang menuntut efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas tinggi.
Momen Munas VII APEKSI 2025 menjadi titik refleksi bagi seluruh pemerintah kota untuk meninjau ulang urgensi transformasi digital dalam tata kelola pemerintahan. Penguatan sistem satu data menjadi fondasi utama jika Indonesia ingin melangkah menuju pembangunan yang inklusif dan berbasis kebutuhan nyata rakyat.
“Ini bukan soal angka. Ini soal nyawa, soal masa depan anak-anak bangsa yang harus kita selamatkan dengan kebijakan yang akurat,” pungkas Eri.
Kini, harapan besar tertuju pada pemerintahan pusat, khususnya di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, untuk menjadikan sistem satu data nasional sebagai prioritas utama reformasi birokrasi. Tanpa data yang terintegrasi, pembangunan tak akan pernah benar-benar menyentuh akar permasalahan. (Lau)
Komentar