![]() |
Puguh Wiji Pamungkas, Juru Bicara Komisi E DPRD Jatim.(Dok/Istimewa). |
Langkah ini diambil menyusul tingginya angka kekerasan terhadap anak di Jawa Timur. Berdasarkan data terbaru, hingga pertengahan 2025 tercatat 1.103 kasus kekerasan terhadap anak, sementara pada triwulan pertama tahun ini terdapat 579 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Angka ini menempatkan Jatim sebagai provinsi dengan jumlah kasus tertinggi secara nasional.
Juru Bicara Komisi E DPRD Jatim, Puguh Wiji Pamungkas, menegaskan bahwa kekerasan terhadap anak dan perempuan kini tidak hanya berbentuk fisik atau seksual, namun juga menjalar ke ranah digital seperti cyberbullying, eksploitasi online, hingga penyebaran konten kekerasan.
“Fenomena kekerasan digital ini membutuhkan respons hukum yang cepat dan tepat. Kita tidak bisa lagi mengandalkan regulasi lama,” ujar Puguh, Senin (23/6/2025).
Komisi E DPRD Jatim menginisiasi penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Perlindungan Perempuan dan Anak sebagai penyempurnaan dua regulasi yang dinilai sudah tidak relevan lagi, yakni Perda No. 16 Tahun 2012 dan Perda No. 2 Tahun 2014.
“Raperda ini akan menyatukan dan memperbarui aturan yang ada. Fokusnya pada pencegahan, layanan terpadu, dan edukasi digital,” tambahnya.
Beberapa poin penting dalam Raperda tersebut meliputi: Pencegahan sejak dini melalui edukasi dan penguatan kesadaran. Kemudian terkait layanan terpadu bagi korban yang melibatkan aspek hukum, psikologis, dan sosial. Dan upaya peningkatan literasi digital bagi orang tua, pendidik, dan masyarakat sebagai upaya deteksi dan pelaporan cepat kekerasan daring.
Raperda ini juga akan memperkuat sinergi antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat. Puguh menyebut, desa, sekolah, serta keluarga harus menjadi garda terdepan dalam mencegah kekerasan.
“Dengan literasi digital yang baik, risiko kekerasan daring bisa ditekan. Masyarakat harus tahu bagaimana mendeteksi dan merespons sejak awal,” jelasnya.
Meski demikian, Komisi E menyadari sejumlah tantangan dalam implementasi perda ini ke depan. Di antaranya ketimpangan literasi digital antarwilayah, lemahnya koordinasi lintas lembaga, serta perlunya dukungan anggaran dan pengawasan berkelanjutan.
“Jika tidak didukung secara serius, regulasi hanya akan menjadi dokumen formal. Kita butuh komitmen dari semua pihak,” pungkas Puguh.
Dengan lahirnya Raperda ini, DPRD Jatim berharap Jawa Timur menjadi pelopor dalam menghadirkan perlindungan nyata bagi anak dan perempuan di tengah era digital yang terus berkembang. (Had)
Komentar