Oleh: M Padilah Ramadan*)
Lensajatim.id, Opini- Dalam catatan perjalanan bangsa Indonesia, dunia pendidikan tak pernah lepas dari persoalan yang kompleks dan terus-menerus bergulir sejak masa pra-kemerdekaan hingga pascakemerdekaan 17 Agustus 1945. Ketika negeri ini berada di bawah kekuasaan penjajah — mulai dari Portugis, Belanda, hingga Jepang — sistem pendidikan terus mengalami perubahan yang sejatinya tidak berpihak pada rakyat.
Kolonialisme menjadikan pendidikan sebagai alat kekuasaan. Atas nama mencerdaskan kehidupan bangsa, pendidikan kala itu justru dijadikan alat untuk menguras sumber daya dan melemahkan mental bangsa. Sejak dulu, pendidikan di negeri ini seolah diarahkan untuk tunduk kepada kekuasaan, bukan untuk membebaskan. Pendidikan menjadi instrumen kekuasaan, bukan alat pencerahan. Dalam kenyataannya, sistem pendidikan justru seringkali menjadi bentuk pembodohan yang dibungkus secara rapi dengan istilah-istilah modern dan menyejukkan.
Secara ideal, tujuan pendidikan adalah mengembangkan seluruh potensi peserta didik — mencakup kecerdasan intelektual (kognitif), pembentukan kepribadian (afektif), serta keterampilan (psikomotorik) — yang dapat berguna secara konstruktif dalam kehidupan bermasyarakat. Jacques Delors, dalam laporannya kepada UNESCO, merumuskan empat pilar pendidikan: Learning to Know, Learning to Do, Learning to Be, dan Learning to Live Together. Pendidikan bukanlah alat penguasaan, melainkan sarana pembebasan.
Lebih dari itu, UUD 1945 Pasal 31 ayat (3) menyatakan bahwa “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.” Namun, realitas di lapangan sering kali berbicara sebaliknya. Arah pendidikan kita saat ini seolah kehilangan pegangan. Tidak jelas ke mana hendak dibawa, dan untuk siapa sesungguhnya pendidikan itu dirancang.
Pertanyaannya, apakah pendidikan kita sudah mencerminkan prinsip keadilan dan kesetaraan bagi seluruh lapisan masyarakat? Ataukah justru tetap saja menjadi alat hegemoni kekuasaan?
Ironisnya, sistem pendidikan kita seperti dibuat tidak jelas secara sengaja, agar tidak melahirkan generasi yang cerdas, kritis, dan sadar akan realitas kebangsaan. Setiap lima tahun, saat pemilu bergulir, narasi tentang pembenahan pendidikan selalu digaungkan. Namun, setiap lima tahun pula, konsep pendidikan berubah-ubah tanpa arah yang pasti — seolah hanya menjadi dalih untuk melanggengkan kepentingan politik jangka pendek.
Jika kondisi ini terus berlanjut, maka pendidikan di Indonesia tidak jauh berbeda dari masa penjajahan. Hanya saja, bentuknya kini lebih halus dan sistemik. Telah terjadi kesenjangan (disparitas) yang tajam antara idealitas yang diagung-agungkan dalam dokumen resmi dengan realitas yang dihadapi siswa, guru, dan masyarakat di lapangan.
Kebijakan pendidikan yang diklaim untuk meningkatkan kualitas bangsa justru menghasilkan generasi yang kehilangan karakter, identitas, dan arah. Pendidikan menjadi semacam proyek besar tanpa arah visi yang utuh.
Maka, pertanyaannya: ke mana bangsa ini hendak dibawa? Dan mau dibawa ke mana pula ibu pertiwi ini?
Penulis adalah Ketua Komisariat PMII STKIP PGRI Situbondo, Jawa Timur*)
Komentar