![]() |
Willy Aditya, Ketua Komisi XIII DPR RI saat podcast.(Dok/Tropodo Podcast). |
Ketua Komisi XIII DPR RI sekaligus inisiator RUU PPRT, Bang Willy, menegaskan urgensi aturan ini. Menurutnya, absennya payung hukum membuat jutaan PRT rentan dieksploitasi tanpa perlindungan memadai.
"Ini undang-undang yang sangat minimalis. Namanya saja perlindungan pekerja rumah tangga, tapi dia tidak punya cantolan hukum di UU Ketenagakerjaan," tegas Willy, disampaikan saat bicara dalam Terpodo Podcast, Sabtu (19/07/2025).
Ketua DPP Partai NasDem ini menilai UU Ketenagakerjaan saat ini diskriminatif karena hanya mengakui pekerja di sektor barang dan jasa, sementara PRT hanya diatur melalui Permenaker yang dinilai lemah.
Kekerasan ekstrem pun masih marak. Kasus PRT di Batam yang dipaksa memakan kotoran anjing menjadi salah satu potret buruknya perlindungan PRT di Indonesia. "Masa Indonesia sudah merdeka 70 tahun lebih, tapi praktik biadab begini masih ada?" sesalnya.
RUU PPRT dirancang dengan dua klaster. Pertama, klaster kekeluargaan bagi PRT yang direkrut langsung oleh keluarga atau tetangga, dengan prinsip gotong royong dan hubungan kerja yang fleksibel. Kedua, klaster profesional yang menjadi fokus utama, menertibkan penyalur atau yayasan nakal yang kerap memanfaatkan celah hukum.
"Yang nakal itu penyalur. Bentuknya yayasan, padahal harusnya badan usaha profesional," kata Willy. Dengan regulasi ini, penyalur diharapkan berbadan hukum, PRT memiliki keterampilan minimum, dan mendapatkan akses jaminan sosial seperti BPJS.
Aturan ini diyakini memberikan manfaat ganda: melindungi PRT, memberi kepastian hukum bagi pemberi kerja, sekaligus meningkatkan posisi tawar Indonesia dalam sengketa pekerja migran di luar negeri.
Meski mendesak, pengesahan RUU PPRT masih menghadapi batu sandungan politik. Bang Willy menyoroti tarik-menarik kepentingan di Senayan dan bias kelas menengah perkotaan.
"Ada paranoia, seolah-olah nanti kalau disahkan, emak kita atau bapak kita bisa dipenjara kalau PRT komplain. Padahal mereka tidak pernah membaca draft-nya," jelasnya.
Menurutnya, bias kelas ini membuat solidaritas publik untuk PRT masih lemah, tak sekuat dukungan pada RUU TPKS yang lebih cepat lolos. Lemahnya riset dan minimnya insentif bagi narasumber ahli juga disebut menghambat kualitas penyusunan beleid.
"Undang-undang kita fragile, riset based-nya enggak ada. Ini political will kita yang perlu. Ini selemah-lemahnya iman, barang ini niatnya hanya melindungi saja, biar negara ini hadir," pungkasnya.
Willy pun mengajak masyarakat sipil, media, dan akademisi untuk membangun solidaritas lintas kelas. Harapannya, RUU PPRT bisa segera disahkan demi menghadirkan perlindungan nyata bagi kelompok pekerja rumah tangga—salah satu pilar penting ekonomi rumah tangga Indonesia yang sering luput dari perhatian. (Had)
Komentar