![]() |
Ning Lia, Anggota DPD RI.(Dok/Istimewa). |
Hal ini disoroti langsung oleh Anggota DPD RI asal Jawa Timur, Dr. Lia Istifhama, atau yang akrab disapa Ning Lia. Ia menyebut situasi ini sebagai bentuk premanisme keuangan yang dibiarkan tumbuh karena lemahnya pengawasan dan penegakan hukum.
“Banyak perusahaan finance kini enggan menyalurkan pembiayaan karena takut rugi. Ada laporan bahwa nasabah justru dibekingi oleh oknum ormas. Bahkan ada yang membayar ‘perlindungan’ agar tidak ditagih lagi oleh pihak leasing,” tegas Ning Lia saat ditemui, Minggu (27/7/2025).
Menurut Ning Lia, penurunan performa industri leasing bukan hanya berdampak pada neraca keuangan perusahaan, tetapi juga mengancam sirkulasi ekonomi nasional secara menyeluruh. Ia menyebut bahwa sektor UMKM, ritel, hingga industri otomotif sangat bergantung pada pembiayaan konsumen.
“Kredit kendaraan bermotor, alat kerja, hingga pembiayaan modal usaha adalah sirkulasi ekonomi rakyat. Jika leasing terhenti, roda ekonomi bisa terjebak dalam stagnasi berkepanjangan,” jelas Keponakan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa ini.
Fenomena perlindungan dari oknum ormas terhadap nasabah yang tidak membayar kewajibannya dinilai menciptakan krisis kepercayaan antara lembaga keuangan dan masyarakat. Bila dibiarkan, praktik ini bisa menimbulkan efek domino yang melumpuhkan kepercayaan investor, bahkan merusak iklim usaha.
“Ini bukan semata soal nasabah yang gagal bayar, tapi soal pembiaran terhadap praktik intimidatif. Kalau negara tidak hadir, perusahaan akan terus jadi korban pemerasan terselubung,” ungkap Tokoh Muda Nahdliyin Inspiratif Versi Forkom Jurnalis Nahdliyin (FJN) ini.
Untuk itu, Ning Lia mendorong agar Kementerian Keuangan, OJK, hingga aparat penegak hukum segera mengambil langkah nyata—baik preventif maupun represif—guna membersihkan praktik-praktik menyimpang ini dari sektor pembiayaan.
Tak hanya itu, ia juga menyoroti rendahnya literasi keuangan masyarakat, yang kerap kali tidak memahami bahwa kontrak pembiayaan mengikat secara hukum.
“Menghindar dari kewajiban pembayaran adalah pelanggaran hukum. Apalagi jika sampai menggunakan kekuatan eksternal untuk melawan ketentuan yang sah,” tegasnya.
Pernyataan Ning Lia diamini oleh Hendra, seorang manajer marketing perusahaan finance nasional. Ia menyebut bahwa kini perusahaan tak lagi hanya menilai dari kelayakan dokumen, tapi juga mempertimbangkan aspek sosial dan lingkungan pemohon.
“Data bisa saja bagus, tapi kalau ujung-ujungnya macet dan tidak bisa ditagih karena intervensi eksternal, kami yang rugi. Sekarang harus sangat hati-hati,” katanya.
Fenomena ini menjadi alarm keras bagi pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat luas. Tanpa intervensi yang tepat, premanisme di sektor keuangan bisa menjadi bom waktu bagi stabilitas ekonomi nasional. (Had)
Komentar