OLEH : AKH. TOHARUDIN
(Kader Partai NasDem Kabupaten Jember)
Lensajatim.id, Opini- Negeri ini kembali berduka, di penghujung akhir tahun 2025 kita disuguhi berita musibah yang dialami saudara-saudara yang tinggal di wilayah Aceh, Sumatra Barat dan Sumatra Utara. Bencana banjir bandang dan tanah longsor dalam sekejap menghancurkan rumah warga, fasilitas umum, dan banyak merenggut korban jiwa. Fenomena ini tidak hanya sekadar bencana, tetapi wujud dari teguran atas kelalaian manusia kepada alam.
Bencana ini tercatat sebagai salah satu yang terparah dalam beberapa tahun terakhir di wilayah tersebut. Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per tanggal 2 Desember 2025 menunjukkan total korban meninggal dunia mencapai 603 orang dan 508 orang lainnya masih dinyatakan hilang di seluruh wilayah terdampak di Sumatra. Dengan rincian korban jiwa di Sumatra Utara 283 orang meninggal dunia, Sumatra Barat 165 orang meninggal dunia, dan Aceh 156 orang meninggal dunia. Ribuan warga mengungsi, akses jalan di beberapa kabupaten/kota terputus, jaringan listrik dan komunikasi terganggu, serta ratusan rumah dan fasilitas pendidikan rusak. Bencana tersebut meninggalkan trauma mendalam bagi masyarakat setempat.
Menurut analis BMKG dan pakar ITB, fenomena banjir bandang dan longsor yang terjadi di sejumlah wilayah di Aceh, Sumatera Barat dan Sumatera Utara dikarenakan beberapa faktor, di antaranya:
Faktor Alam (Hidrometeorologi)
Curah Hujan Ekstrem: Ini adalah pemicu langsung terjadinya bencana. Curah hujan yang sangat tinggi terjadi berulang-ulang dalam waktu singkat, yang melampaui kapasitas tanah dan sungai untuk menyerap atau menampung air.
Fenomena Atmosfer: Keberadaan sistem cuaca tertentu, seperti Siklon Tropis Senyar dan bibit siklon tropis 95B, membawa massa udara dan kelembapan tinggi ke wilayah Sumatera bagian utara. Kondisi ini memperparah intensitas hujan lebat di daerah tersebut.
Kondisi Geografis: Pulau Sumatera, khususnya di sepanjang Pegunungan Bukit Barisan, memiliki topografi berbukit dan curam, yang secara alami rentan terhadap longsor dan aliran air permukaan yang cepat saat hujan deras.
Faktor Lingkungan (Aktivitas Manusia)
Deforestasi dan Kerusakan Hutan: Penebangan hutan liar, konversi lahan menjadi perkebunan (misalnya perkebunan kelapa sawit), dan aktivitas pertambangan di area hulu sungai telah merusak fungsi hutan sebagai daerah resapan air alami.
Hilangnya Tutupan Vegetasi: Tanpa tutupan pohon, tanah menjadi gundul dan kemampuan menyerap air hujan berkurang drastis, menyebabkan peningkatan erosi dan aliran permukaan yang cepat, yang berujung pada banjir bandang.
Perubahan Tata Guna Lahan: Pembangunan di daerah resapan air dan manajemen tata ruang yang buruk memperparah dampak bencana, karena infrastruktur sering kali tidak dirancang untuk menahan volume air yang meningkat drastis.
Bencana Aceh, Sumatera Barat dan Sumatera Utara menjadi alarm kepada semua manusia di muka bumi untuk terus menerus menjaga dan merawat alam sebagai tempat tinggal bagi seluruh makhluk yang ada di muka bumi. Ketika bencana alam melanda, manusia sering merasa kecil dan tak berdaya. Gempa bumi, banjir besar, tanah longsor, atau badai dahsyat mampu mengubah suasana aman menjadi ketakutan dalam hitungan detik.
Akibat ulah manusia, salah satu penyebab banjir bandang terjadi disebabkan oleh “pengrusakan hutan”. Pengrusakan hutan yang terus menerus dan berlebihan akan berdampak terhadap banjir bandang yang akan menyebabkan kerusakan parah terhadap semua fasilitas serta merenggut nyawa orang-orang yang tidak berdosa, yang tidak terlibat dalam pengrusakan hutan sendiri.
Kejadian yang terjadi saat ini di tiga provinsi mengingatkan kita pada tragedi kelam banjir bandang di Panti, Kabupaten Jember, dengan merenggut 80 nyawa pada tahun 2006 silam. Warga menuding banjir bandang terjadi karena gundulnya hutan di lereng Gunung Argopuro. Kejadian yang terjadi pada sembilan belas tahun lalu penting dijadikan pelajaran kepada semua pihak, baik pemerintah daerah maupun masyarakat yang ada di sekitar lereng Gunung Argopuro untuk terus mengawasi kondisi hutan serta kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang berdampak merusak hutan dan lingkungan.
Melihat kondisi Kabupaten Jember secara geografis memiliki potensi terjadinya banjir bandang, maka dipandang perlu pemerintah daerah melakukan mitigasi dengan tindakan: pertama, pemetaan dan penilaian risiko, mengidentifikasi daerah rawan banjir dan membuat peta risiko. Kedua, perencanaan tata ruang, menghindari pembangunan di daerah dataran retensi banjir kecuali dengan penguatan struktur yang memadai. Ketiga, pembangunan Infrastruktur, meninggikan panel listrik, tungku pemanas, dan pemanas air jika rentan banjir, serta memasang "katup periksa" pada saluran pembuangan. Keempat, pemeliharaan lingkungan, melakukan pembersihan saluran air, selokan, dan lingkungan sekitar secara gotong royong agar tidak tersumbat sampah. Kelima, reboisasi dan penanaman mangrove, melakukan penghijauan hutan dan penanaman pohon bakau untuk pencegahan jangka panjang. Keenam, edukasi dan pelatihan, memberikan penyuluhan dan meningkatkan kesadaran masyarakat di daerah rawan bencana termasuk mengenali rute evakuasi. Ketujuh, kesiapsiagaan individu, menyiapkan tas darurat berisi dokumen penting, obat-obatan, dan kebutuhan dasar lainnya, serta memantau informasi cuaca dan potensi banjir dari sumber resmi, untuk mencegah terjadi bencana seperti di tiga provinsi saat ini.
Peran penting pemerintah daerah dalam penanggulangan bencana sudah diatur dalam UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Masing-masing pemerintah pusat dan daerah memiliki wewenang dalam penanggulangan bencana.
Mengingat, bulan Desember 2025 akan memasuki puncak musim hujan. BMKG memproyeksikan peningkatan hujan lebat-ekstrem yang meluas, dengan sebagian wilayah (terutama Jawa) berpotensi mencapai curah hujan bulanan di atas 300 mm dan hujan per dasarian bisa melampaui 150 mm pada akhir Desember. BMKG mencatat, Desember tahun ini diperkirakan lebih basah dibandingkan rata-rata jangka panjang 30 tahun. Outlook iklim 2025 menunjukkan faktor ENSO berada pada kisaran La NiƱa lemah hingga netral. Secara historis, kondisi ENSO seperti ini cenderung meningkatkan curah hujan di Indonesia pada periode akhir tahun. “Kondisi ini historisnya berkorelasi dengan curah hujan cenderung di atas normal di banyak wilayah Indonesia pada periode akhir tahun, sehingga Desember 2025 diprediksi basah dibanding rata-rata jangka panjang (normal 30 tahun).” Hingga menjelang Desember, BMKG mencatat 72,7 persen Zona Musim (ZOM) di Indonesia telah resmi memasuki musim hujan. Capaian ini menjadi indikator penting bahwa sebagian besar wilayah sudah berada dalam fase kelembapan tinggi dan pola hujan harian yang lebih intens.
Mengingat belakangan ini Kabupaten Jember di wilayah perkotaan sering kali dilanda banjir yang menyebabkan genangan di berbagai titik jalan poros kota. Menurut Prof. Nanang, salah satu penyebab utama banjir adalah sistem drainase kawasan permukiman yang kurang memadai serta alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan yang telah meningkatkan koefisien limpasan air.
Pemerintah harus mempunyai kemampuan yang cukup besar untuk mengontrol setiap bencana yang terjadi. Kemampuan itu meliputi perencanaan dan persiapan respons bencana, bantuan koordinasi, kebijakan rekonstruksi dan mengatasi masalah populasi. Pemerintah dengan sebuah pengembangan program manajemen bencana dapat melakukan koordinasi yang baik. Mengacu pada Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menyatakan bahwa penanggulangan bencana harus didasarkan pada asas atau prinsip-prinsip utama antara lain: kemanusiaan, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, keseimbangan, keselarasan dan keserasian, ketertiban dan kepastian hukum, kebersamaan, kelestarian lingkungan hidup, ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu, penanggulangan bencana juga harus didasarkan pada prinsip-prinsip praktis sebagai berikut: cepat dan tepat, prioritas, koordinasi dan keterpaduan, berdaya guna dan berhasil guna, transparansi dan akuntabilitas, kemitraan, pemberdayaan, non diskriminasi, dan non-proselitasi.
Pemerintah Daerah penting membangun sinergitas yang kuat dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Jember sebagai instansi pemerintah dengan tugas memberikan rasa aman terhadap mitigasi bencana, khususnya banjir yang seperti sudah menjadi perhatian khusus. Tidak hanya itu, BPBD Kabupaten Jember perlu peningkatan kapasitas masyarakat itu sendiri. Peningkatan kapasitas berbasis masyarakat yaitu pemberian edukasi kepada masyarakat sebagai sarana meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap bencana banjir.


Komentar