|
Menu Close Menu

Nasib Pekerja Bagaikan Dua Dunia: Eks Pegawai Elektronik Klaim BPJS Rp15 Juta, Karyawan BMT NU Bertahun Tahun Tanpa Jaminan

Jumat, 05 Desember 2025 | 19.26 WIB

Ilustrasi BPJS.(Dok/Istimewa). 
Lensajatim.id, Sumenep– Kontras mencolok dalam perlindungan tenaga kerja mencuat dari perbandingan nasib mantan pekerja perusahaan elektronik nasional dan karyawan BMT NUansa Umat (BMT NU) Jawa Timur. Dua realitas ini menyingkap jurang perlakuan terhadap hak normatif pekerja yang kian terang.


Seorang mantan pekerja pabrik elektronik ternama, YK, mengungkapkan dirinya tetap memperoleh hak ketenagakerjaan meski terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) massal saat pandemi COVID-19. Hal itu terjadi karena sejak awal bekerja, dirinya telah terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan.


“Nggak sampai dua tahun kerja, saya kena PHK waktu COVID. Tapi karena BPJS aktif, saya bisa klaim dan dapat sekitar Rp15 juta, termasuk pesangon,” ujar YK kepada wartawan, Jumat (5/12/2025).


Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan pengakuan sejumlah eks karyawan BMT NU Jawa Timur yang berkantor pusat di Kecamatan Gapura, Kabupaten Sumenep. Mereka mengaku tidak pernah didaftarkan sebagai peserta BPJS, meski telah bekerja selama empat hingga enam tahun. Lebih miris lagi, sebagian besar mengundurkan diri tanpa menerima pesangon.


“Lima tahun enam bulan saya kerja, nggak ada BPJS, nggak ada pesangon,” ungkap salah seorang mantan karyawan swalayan BMT NU.


Pengakuan serupa juga disampaikan mantan Kepala Cabang BMT NU. Ia menyebut tidak hanya dirinya, sejumlah rekannya pun mengalami hal yang sama. “Belum didaftarkan BPJS. Saya dan beberapa teman juga nggak ada yang didaftarkan, mungkin yang kerja lebih dari enam tahun,” katanya.


Menanggapi hal tersebut, Direktur Utama BMT NU Jawa Timur, Masyudi Kanzillah, menyampaikan bahwa kepesertaan BPJS hanya diberikan kepada karyawan berstatus tetap berdasarkan penilaian kinerja atau Key Performance Indicator (KPI), bukan semata-mata masa kerja.


“Alhamdulillah sudah diikutkan BPJS kesehatan dan ketenagakerjaan, khusus karyawan tetap. Itu ditentukan bukan berdasarkan masa kerja, tapi sesuai KPI-nya,” ujar Masyudi.


Namun demikian, pihak manajemen belum merinci secara terbuka berapa jumlah karyawan yang telah terdaftar BPJS dari total 1.032 karyawan BMT NU yang tersebar di 107 kantor cabang. Padahal, BMT NU diketahui mengklaim memiliki omzet mencapai Rp1,3 triliun.


Sementara itu, Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kabupaten Sumenep, Heru Santoso, menegaskan bahwa secara regulasi, setiap perusahaan wajib mendaftarkan karyawannya sebagai peserta BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan sejak hari pertama terjalin kontrak kerja.


“Bicara wajib ya wajib. Perusahaan wajib mendaftarkan karyawan ke BPJS sejak hari pertama kontrak. Tidak ada batas masa kerja,” tegas Heru.


Meski demikian, Heru mengakui pihaknya tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penindakan atau pemberian sanksi terhadap perusahaan yang diduga melanggar aturan tersebut.


“Peran kami hanya pembinaan dan sosialisasi. Soal pengawasan dan penindakan itu kewenangan provinsi,” ujarnya.


Perbedaan perlakuan yang mencolok ini pun memunculkan tanda tanya besar terkait komitmen perlindungan tenaga kerja di lingkungan BMT NU, sekaligus menjadi sorotan serius bagi pengawasan ketenagakerjaan di daerah.  (Yud) 

Bagikan:

Komentar