|
Menu Close Menu

Belajar Bahasa Inggris Sejak Dini: Kebijakan Tepat atau Terlalu Cepat?

Minggu, 26 Oktober 2025 | 16.16 WIB



Oleh: Novi Rahmania Aquariza

Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Pendidikan Bahasa UNNES


Lensajatim.id, Opini- Pemerintah resmi menetapkan bahasa Inggris sebagai mata pelajaran wajib di sekolah dasar mulai tahun ajaran 2027/2028. Kebijakan ini disambut beragam tanggapan. Di satu sisi, banyak pihak menilai langkah ini sebagai strategi penting untuk menyiapkan generasi muda menghadapi era globalisasi. Namun di sisi lain, muncul kekhawatiran tentang kesiapan guru, sekolah, dan ketimpangan antarwilayah dalam pelaksanaannya. Lalu, apakah kebijakan ini merupakan langkah tepat, atau justru terlalu cepat?


Tingkat penguasaan bahasa Inggris guru SD

Menurut dokumen kebijakan dari Pusat Studi Kebijakan Pendidikan (PSKP) Kemendikdasmen, ada jurang besar antara persepsi dan realitas kemampuan guru SD dalam mengajar bahasa Inggris. Lebih dari 70% guru merasa mereka sudah menguasai materi dan mampu mengajarkannya. Pernyataan ini tentu memberi kesan bahwa sekolah dasar kita relatif siap menyambut kebijakan wajib bahasa Inggris. Namun angka tersebut ternyata tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi kompetensi yang terstandar secara internasional.


Ketika penilaian kemampuan dilakukan melalui tes yang merujuk pada kerangka CEFR, hanya sekitar 20% guru yang mencapai level B1 atau lebih tinggi. Artinya kebanyakan guru baru berada pada level A, yaitu tingkat dasar yang masih jauh dari kualifikasi untuk mengajar bahasa Inggris secara efektif. Situasi ini menggambarkan bahwa kepercayaan diri guru belum tentu berbanding lurus dengan kompetensi faktual mereka. Fakta ini perlu dipandang serius karena keberhasilan pembelajaran bahasa Inggris sangat bergantung pada kualitas pengajaran di kelas.


Kesenjangan ini semestinya menjadi wake up call bagi pemangku kebijakan. Jika pemerintah tetap melangkah dengan kebijakan wajib bahasa Inggris tanpa investasi besar pada pelatihan dan peningkatan kapasitas guru, maka resiko kegagalan implementasi sangat tinggi. Kualitas pembelajaran bisa merosot, siswa yang seharusnya mendapat fondasi kuat justru belajar dari guru yang belum siap. Kebijakan seharusnya tidak hanya menetapkan target, tetapi juga memastikan guru yang bertugas berada pada posisi yang benar-benar mampu mendukung keberhasilan siswa di masa depan.


Kesiapan sekolah untuk menyelenggarakan pembelajaran bahasa Inggris

Dari dokumen PSKP menunjukkan bahwa alasan utama sekolah dasar belum menyelenggarakan mata pelajaran bahasa Inggris antara lain: “tidak ada guru bahasa Inggris” (41,3 %), “belum ada arahan kebijakan” (27,5 %) dalam satu kabupaten yang dijadikan survei.


Berangkat dari temuan dokumen PSKP tersebut, tampak jelas bahwa persoalan terbesar dalam implementasi bahasa Inggris di sekolah dasar bukan sekadar soal kesiapan siswa, tetapi justru pada ketersediaan sumber daya manusia dan arah kebijakan. Sebanyak 41,3% sekolah menyatakan “tidak ada guru bahasa Inggris” sebagai alasan utama mereka belum menyelenggarakan mata pelajaran ini. Kondisi ini seperti ingin mengatakan bahwa ide besar pemerintah sering kali mentok di ruang kelas karena kita lupa memeriksa siapa yang akan berdiri di depan murid.


Ketiadaan guru bukan hanya soal jumlah, tetapi juga soal kompetensi. Di beberapa daerah, guru kelas terpaksa merangkap sebagai pengajar bahasa Inggris meskipun mereka tidak memiliki latar belakang keilmuan yang sesuai. Situasi ini tentu membuat pembelajaran berisiko menjadi sekadar formalitas: bahasa Inggris hadir di jadwal, tetapi tidak benar-benar tertanam di kepala siswa. Jika kondisi seperti ini dibiarkan, kebijakan pendidikan hanya akan menjadi dokumen tanpa nyawa.


Alasan kedua yang muncul, yaitu “belum ada arahan kebijakan” (27,5%), memperlihatkan masalah koordinasi yang masih lemah antara pemerintah pusat dan daerah. Sekolah-sekolah menunggu instruksi, sementara pemerintah mungkin menganggap inisiatif bisa berjalan dari bawah. Akibatnya bahasa Inggris di SD menjadi wilayah abu-abu: ada yang mengajarkan, ada yang tidak, dan semuanya seakan sah-sah saja karena tidak ada standar yang mengikat.


Ketidakjelasan arah ini menghadirkan ketimpangan akses belajar antar daerah. Sekolah-sekolah di kota dengan sumber daya lebih baik mungkin sudah melesat menyiapkan kelas bahasa Inggris, sementara sekolah di daerah tertinggal masih sibuk menunggu panduan. Ini menciptakan jurang kesempatan yang sulit dikejar nanti ketika siswa bergerak ke jenjang pendidikan berikutnya. Kebijakan yang tidak seragam bisa memupuk ketidakadilan akademik sejak dini.


Kalau pemerintah benar-benar ingin menjadikan bahasa Inggris sebagai modal masa depan generasi Indonesia, persoalan hilir tidak boleh terus mengalahkan tekad di hulu. Ketersediaan guru harus dipastikan melalui rekrutmen atau pelatihan masif, dan pedoman nasional mesti ditegaskan tanpa ragu. Kebijakan pendidikan tidak boleh membiarkan guru kebingungan atau sekolah berjalan sendiri-sendiri. Bahasa Inggris hanya akan menjadi kekuatan apabila negara serius menjadikannya prioritas, bukan sekadar paragraf gagah dalam strategi pendidikan.


Strategi yang dapat dilakukan untuk mendukung keberhasilan kebijakan ini

Pelatihan dan pengembangan profesional guru bahasa Inggris perlu dimulai sejak sekarang juga. Tidak ada lagi menunggu situasi “ideal” muncul dengan sendirinya. Standar kompetensi yang jelas harus disiapkan agar seluruh guru memiliki arah yang sama dalam meningkatkan kemampuan mereka. Jika kualitas guru diperkuat dari awal, langkah-langkah berikutnya akan jauh lebih mudah dijalankan.


Selain itu, pengalokasian anggaran dan sumber daya wajib menjadi komitmen bersama pemerintah pusat dan daerah. Setiap sekolah dasar harus benar-benar memiliki guru bahasa Inggris, bukan sekadar mengandalkan guru kelas yang diminta untuk mengajar di luar keahliannya. Bahan ajar yang memadai juga harus tersedia supaya pembelajaran tidak bergantung pada individu guru semata. Investasi ini akan menjadi fondasi pemerataan kualitas pendidikan di seluruh wilayah.


Kurikulum pun perlu lebih adaptif terhadap kebutuhan perkembangan anak. Di tingkat sekolah dasar, fokus pembelajaran sebaiknya pada komunikasi dasar: listening–speaking, reading–viewing, serta writing–presenting yang menyenangkan dan sesuai usia. Anak tidak perlu langsung dijejali tata bahasa yang rumit. Mereka cukup diajak membangun rasa percaya diri untuk menggunakan bahasa Inggris dalam konteks sederhana yang mereka jumpai sehari-hari.


Pendekatan pembelajaran harus kreatif dan kontekstual agar siswa merasa senang setiap kali jam bahasa Inggris tiba. Aktivitas dapat berupa permainan, lagu, cerita, hingga proyek kecil yang relevan dengan dunia mereka. Kelas yang ceria akan menumbuhkan motivasi intrinsik, sehingga anak belajar bukan karena dipaksa, tetapi karena merasa itu menyenangkan dan bermanfaat bagi dirinya.


Semua upaya ini perlu diiringi pemantauan serta evaluasi berkala. Pemerintah dan sekolah harus memiliki data yang jelas tentang perkembangan implementasi, kendala yang masih muncul, serta langkah perbaikan yang harus diambil. Kebijakan pendidikan tidak boleh bersifat sekali tetapkan lalu selesai. Bahasa Inggris di SD hanya akan berhasil jika prosesnya terus dikawal dan disempurnakan sepanjang waktu.


Kebijakan pemerintah menjadikan bahasa Inggris sebagai mata pelajaran wajib di sekolah dasar merupakan langkah strategis yang memiliki potensi besar dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan daya saing generasi muda Indonesia. Namun, keberhasilan implementasi kebijakan tersebut sangat bergantung pada kesiapan guru, sekolah, dan dukungan infrastruktur pendidikan di seluruh wilayah. Dengan strategi yang tepat dan sinergi antara pemerintah pusat, daerah, sekolah, guru, dan orang tua, kebijakan ini bisa menjadi lompatan positif bagi pendidikan dasar di Indonesia. ***

Bagikan:

Komentar