![]() |
| H.Mohammad Supriyadi, Ketua Umum IKAWIGA Malang.(Dok/Istimewa). |
Perjalanan panjangnya kali ini bukan sekadar rutinitas akademik, tapi sebuah babak penting dalam hidup: menuntaskan tugas kampus dan menutup ujian kualifikasi disertasinya. “Ada rasa lega,” ujarnya pelan, “tapi juga kesadaran bahwa perjuangan belum berakhir," katanya, Selasa (07/10/2025) siang.
Sembilan hari berpindah dari satu kota ke kota lain, dari ruang kuliah ke ruang ujian, membuatnya belajar lebih dari sekadar teori. Ia belajar tentang keteguhan, tentang waktu yang tak pernah mau menunggu, dan tentang makna belajar yang sesungguhnya: menemukan diri di tengah perjalanan.
Kini, di hadapan secangkir kopi, Supriyadi kembali menata langkah. Hiruk pikuk Jakarta menuntutnya kembali ke dunia nyata—dunia bisnis, kepemimpinan, dan pengabdian. Di balik tegukan kopi itu, pikirannya melayang pada strategi, arah baru organisasi, serta bagaimana ilmu yang diperjuangkan di ruang akademik bisa memberi manfaat nyata bagi banyak orang.
“Ilmu itu tidak boleh berhenti di ruang seminar,” katanya suatu ketika dalam diskusi. “Ia harus turun ke jalan, menjadi solusi bagi kehidupan.”
Baginya, hidup adalah tentang keseimbangan. Antara idealisme dan realitas, antara cita dan tindakan, antara jeda dan gerak. Kadang, berhenti sejenak bukan tanda menyerah, melainkan waktu untuk menyusun ulang langkah agar lebih pasti.
Kopi siang di Menteng itu akhirnya menjadi simbol kecil dari semangat besar, bahwa perjuangan tidak selalu harus bising. Kadang, ia hadir dalam diam, dalam secangkir kopi yang menenangkan, dalam renungan singkat sebelum melangkah lebih jauh.
Dari ruang diskusi di kampus hingga meja kerja di Jakarta, semangat H. Mohammad Supriyadi tetap sama: belajar tanpa henti, berjuang dengan makna, dan memberi arti bagi sesama.
Karena, seperti ia sering katakan, “Yang membedakan seorang pejuang dan penonton hanyalah satu hal, keberanian untuk terus berjalan, meski jalan itu belum sepenuhnya terlihat.” (had)


Komentar