![]() |
| Ning Lia Istifhama, Anggota DPD RI asal Jawa Timur.(Dok/Istimewa). |
Ning Lia, sapaan akrabnya, mengungkapkan bahwa hingga saat ini baru sekitar 180 bahasa daerah yang memiliki kamus, baik yang disusun Balai Bahasa maupun komunitas lokal. Jumlah tersebut dinilai jauh dari memadai, terutama ketika setiap tahun ada bahasa yang perlahan menghilang dari kehidupan sosial masyarakat. Ia menegaskan bahwa kamus merupakan instrumen paling dasar dalam melestarikan bahasa, mulai dari revitalisasi, pembelajaran, hingga penelitian. Tanpa kamus, seluruh proses tersebut akan terhambat secara signifikan.
Menurutnya, Indonesia perlu mencontoh negara lain yang memiliki komitmen kuat terhadap dokumentasi bahasa lokal. Ia menyoroti Koninklijke Bibliotheek (KB) di Belanda yang justru memberikan pendanaan berkelanjutan bagi penyusunan kamus berbagai bahasa lokal—bahkan bahasa yang tidak menjadi bahasa resmi negara.
“Belanda saja, dengan keragaman bahasa yang jauh lebih kecil, memberikan dukungan pendanaan khusus. Indonesia seharusnya lebih serius,” ujar Ning Lia, Senin (01/12/2025).
Lebih jauh, Ning Lia menegaskan bahwa bahasa daerah bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga “museum hidup” yang menyimpan perjalanan sejarah masyarakat Nusantara sebelum terbentuknya negara Indonesia. Setiap bahasa mengandung pengetahuan lokal, nilai adat, hingga pandangan hidup yang diwariskan lintas generasi. Hilangnya satu bahasa berarti hilangnya satu peradaban.
UNESCO dan sejumlah lembaga kebahasaan mencatat sedikitnya 11 bahasa daerah berada dalam kondisi kritis, sebagian besar hanya dituturkan generasi tua. Banyak bahasa bahkan memiliki penutur kurang dari 1.000 orang dan belum pernah terdokumentasi secara formal.
Sebagai bagian dari upaya penyelamatan bahasa daerah, Ning Lia mengusulkan agar anggaran Balai Bahasa tahun 2026 difokuskan pada penyusunan kamus, terutama bagi bahasa yang penuturnya terus menurun. Ia menegaskan bahwa penyusunan kamus tidak bisa dilakukan parsial, tetapi harus menjadi program nasional yang sistematis.
Ia menjabarkan beberapa langkah utama yang perlu diambil pemerintah:
Pertama, memperkuat kolaborasi antara Balai Bahasa dan perguruan tinggi yang memiliki program studi bahasa dan budaya. Kolaborasi ini dinilai penting untuk mempercepat pendataan kosakata dan struktur bahasa.
Kedua, melibatkan pemerintah daerah dalam pendanaan dan pemetaan penutur asli, terutama di wilayah terpencil. Menurut Ning Lia, pemerintah daerah memiliki akses langsung terhadap komunitas lokal dan dapat menjadi mitra strategis dalam pengumpulan data.
Ketiga, memastikan penyusunan kamus tersedia dalam format cetak dan digital agar mudah diakses generasi muda, termasuk di sekolah dan ruang publik.
Keempat, mengembangkan aplikasi kamus berbasis kecerdasan buatan (AI) untuk memperbarui kosakata secara dinamis. Teknologi ini memungkinkan dokumentasi yang lebih cepat, luas, dan berkelanjutan.
Selain itu, ia juga mendorong penguatan bahasa daerah melalui integrasi dalam kurikulum muatan lokal secara adaptif. Menurutnya, sekolah dapat menjadi ruang terbaik untuk memastikan bahasa daerah tetap hidup, terutama di tengah dominasi bahasa nasional dan bahasa asing. Tidak hanya itu, produksi konten kreatif seperti gim, animasi, dan komik berbahasa daerah juga dinilai mampu menarik minat generasi muda.
Ia menambahkan bahwa dokumentasi audio-visual dari penutur asli harus menjadi prioritas agar keaslian fonologi dan intonasi bahasa dapat terjaga.
“Bahasa tidak cukup hanya diselamatkan di buku. Bahasa harus hidup, digunakan sehari-hari, diajarkan, dan dirayakan,” tutup Ning Lia, penerima DetikJatim Award 2025 sekaligus lulusan Doktor UINSA Surabaya. (Red)


Komentar