|
Menu Close Menu

Idhul Fitri, Apa Adanya

Sabtu, 23 Mei 2020 | 13.17 WIB


Oleh: Moch Eksan

Di usia 45 tahun, saya belum pernah merasakan puasa Ramadhan dan hari raya Idhul Fitri yang sesepi dan sehambar tahun ini. Berpuasa dan berhari raya tanpa buka bersama, tanpa mudik,  seperti menikmati makanan tanpa bumbu. Terasa hambar. Benar-benar hambar.

Pandemi Covid 19 telah mencabut sebagian kelezatan sosial dan spiritual puasa dan hari raya. Demi kesehatan dan keselamatan jiwa, banyak orang yang menghabiskan hari demi hari di rumah dengan segala keterbatasan dan rasa jenuh yang mendalam.

Namun, apa hendak dikata, penyebaran virus Corona ini belum menunjukkan trend kasus menurun. Alih-alih kondisinya membaik, kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) di Surabaya misalnya diperpanjang. Kebijakan pahit ini diambil lantaran kecenderungan kasus di Propinsi Jawa Timur meningkat.

Gubernur Jawa Timur,  Khofifah Indar Parawansa sampai-sampai membuat   Rumah Sakit Darurat Covid 19, mengingat pasien yang terinfeksi semakin meningkat dan Jawa Timur tertinggi pada Jumat, 22 Mei 2020, dibandingkan dengan propinsi lain. Data teranyar, di Jawa Timur terdapat penambahan 131 dari 634 kasus baru di Indonesia.

Kendati demikian, saya melihat disiplin sosial masyarakat masih kurang. Banyak masyarakat yang berkerumun di berbagai tempat, apalagi jelang lebaran tiba. Mall, pasar, bandara, stasiun, terminal dan jalan, banyak yang belanja dan pulang kampung untuk merayakan Idhul Fitri.

Terlihat arus ratusan ribu arus kendaraan keluar dari Jakarta,  banyak check point di berbagai tempat bobol. Petugas bukan sekadar kewalahan, malah ada yang mendapatkan perlawanan fisik dari rakyat yang hendak mudik. Kasus baku hantam Satpol PP Surabaya, Asmadi dan Habib Umar Abdullah Assegaf, di check point Tol Satelit Surabaya, sebagai bukti kecil misalnya. Betapa rakyat sudah sangat jenuh serta sudah tak tahan menerima efek sosial dan ekonomi dari kebijakan tersebut.

Saya dapat memahami kasus di atas, semua pihak, pemerintah, petugas kesehatan, aparat, dan masyarakat dalam kondisi sangat tertekan. Secara psikologis, kondisi sosial masyarakat seperti rumput kering yang bisa terbakar oleh sepuntung rokok. Semua lelah. Semua jenuh. Semua marah atas keadaan pandemi global yang telah merusak berbagai sendi kehidupan bangsa.

Sesungguhnya, pandemi global ini juga merusak kehidupan keberagamaan di Indonesia. Puasa Ramadhan dan Hari Raya Idhul Fitri juga darurat. Hukum  agama yang berlaku juga hukum darurat. Masjid dianjurkan lebih baik ditutup, Sholat berjamaah di rumah lebih baik dari sholat berjamaah di masjid. Sholat Dhuhur dapat menjadi pengganti Sholat Jumat, dan seterusnya.

Jadi, umat Islam sekarang bukan hanya menghadapi darurat kesehatan, tapi juga darurat agama. Sehingga,  hukum agama normal gugur dengan sendirinya. Persis sebuah ungkapan, Addharuratut tubihul mahdhurat (Dalam kondisi darurat, sesuatu yang dilarang dibolehkan). Juga, Dar'ul mafasid muqaddamul 'ala jalbil mashalih (Menolak kerusakan lebih utama daripada melaksanakan kebaikan).

Saya menyadari benar, ingin berpuasa dan berhari raya laksana 44 tahun yang sudah lewat, menyalahi "hukum darurat". Sehingga mau tidak mau, menikmati puasa Ramadhan dan hari Raya Idhul Fitri apa adanya. Sangat minimalis.

Kita mesti memetik hikmah di balik semua kejadian ini. Barangkali ini cara Allah Swt memurnikan aqidah dan ibadah kita. Hingar bingar ibadah yang menyertai puasa dan hari raya dihindari dulu. Tradisi buka bersama, kue lebaran, baju baru, mudik lebaran, yang banyak menghabiskan anggaran besar, bisa dialihkan kepada rakyat yang tak mampu. Akibatnya, ekonomi keluarga lebih efisien dan belanja sosialnya lebih tepat sasaran. Hati kita lebih ikhlas dan jauh dari pamer dan pamrih, kecuali hanya mengharap ridha Allah Swt.

Puasa, sholat teraweh, tadarrus Alquran, dzikir, sadakah, dan amal sholeh lainnya, selama bulan Ramadhan, hikmahnya benar-benar lillallah (karena Allah) semata, dan sama sekali bukan liajlinnas (karena manusia). Hanya umat Islam yang aqidah dan ibadahnya lurus saja yang dapat menikmati menu spiritual di puasa dan hari raya tahun ini.

Sementara, umat Islam yang Islamnya belum merdeka, puasa dan hari raya tahun ini akan banyak menghabiskan waktu dengan perbuatan sia-sia dan nilai ketakwaannya tak akan bertambah. Sebab, agama digerakan oleh struktur kesadaran pribadi bukan tradisi dan kultur yang berurat akar di tengah-tengah masyarakat.

Saya yakin, puasa dan hari raya tahun ini akan menjadi yang paling berkesan sepanjang hidup. Betapa menu utama dari ibadah puasa teosentrisme. Kehadiran Tuhan dan Tuhan sebagai tujuan dari setiap gerak gerik kita. Sedang, menu utama dari zakat fitrah adalah teoantroposentrisme. Manusia adalah sarana mendekatkan diri kepada Tuhan dan Tuhan tetap yang menjadi tujuan utama.

Allah Swt mengingatkan bahwa Laisal 'id liman labisal jadid wa innamal 'id liman ta'atahu tazid (Hari raya bukan untuk yang berbaju baru, akan tetapi bagi yang ketaatannya bertambah).

Moch Eksan adalah Pendiri Eksan Institute dan Ketua Bidang Agama dan Masyarakat Adat DPW Partai NasDem Jawa Timur.

Bagikan:

Komentar