|
Menu Close Menu

MUI, Legitimasi dan Oposisi Kekuasaan

Sabtu, 28 November 2020 | 01.52 WIB

 


Oleh: Moch Eksan


Sebagaimana yang diprediksikan banyak orang, Rois Aam PBNU, KH Miftahul Akhyar terpilih sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia periode 2020-2025. Musyawarah Nasional MUI ke-10, mengukuhkan konvensi suksesi pucuk pimpinan MUI dari Rois Aam pada Rois Aam PBNU. Kelaziman ini sudah berlangsung semenjak tiga dekade, semenjak KH Ali Yafie, KH Sahal Mahfudz, KH Makruf Amien sampai KH Miftahul Akhyar. Warna keagamaan MUI terlihat berhaluan Islam ala ahlisunnah wal jamaah.


Menariknya, fatwa MUI tak selamanya selaras dengan pandangan dan sikap keagamaan NU. Terutama era KH Ali Yafie versus Gus Dur, KH Makruf Amien versus KH Said Aqiel Siradj. Perbedaan soal liberalisme, Ahmadiyah, penistaan agama dan lain sebagainya. Boleh jadi, perbedaan tersebut manifestasi fiqhul ikhtilaf yang khas dalam diskursus madzhab semenjak salafunash sholeh.


Reputasi MUI pasca Soeharto, semakin terlihat baik di mata ormas, umat dan dunia Islam. Fatwa MUI semakin otonom dari pengaruh pemerintah, meski sedari berdirinya pada 26 Juli 1975, MUI merupakan ormas produk  rezim Orde Baru. Soeharto menerapkan kebijakan simplifikasi politik dan sosial. Bukan hanya partai Islam yang hendak difusikan pada Partai Persatuan Pembangunan (PPP), tapi ormas Islam juga ingin disatukan ke dalam wadah tunggal, MUI. Kebijakan penyederhanaan partai Islam berhasil, namun penyederhanaan ormas Islam gagal. Sebab, ormas Islam itu mandiri, punya akar sosial, dan amal usaha sendiri yang tak bergantung pada pemerintah. Bahkan, banyak ormas Islam yang membantu pemerintah di bidang pendidikan, kesehatan, sosial dan ekonomi.


Pada 5 tahun terakhir, fatwa MUI relatif sangat berpengaruh terhadap perjalanan kehidupan bangsa. Fatwa penistaan agama Ahok, Gubernur DKI Jakarta, yang berhasil memenjarakan Gubernur pasca Jokowi. Fatwa penolakan RUU HIP yang menggagalkan reinkarnasi ideologi Nasakom. Sebuah contoh terbaik, pengaruh efektif dari otoritas keagamaan MUI dalam memproteksi originalitas ajaran Islam. Rezim penguasa harus "takluk" terhadap percaturan wacana dan gerakan umat. Proses hukum harus ditegakkan, dan pembahasan RUU harus dihentikan. MUI berhasil menjaga ajaran dan kepentingan umat Islam di Indonesia.


Mau tak mau, rezim pemerintah harus berhitung ulang terhadap keberadaan MUI, yang selama ini disibukkan dengan sertifikasi halal produk obat dan makanan yang diperjual-belikan di pasar umum, serta pembinaan kerukunan umat beragama, tiba-tiba menjadi oposisi kekuasaan. Dan, fatwa itu  bukan hanya membuat "geger", tapi juga "mengoyang" istana dan partai pengusung rezim.


Akhirnya, Jokowi mencawapreskan ketua umum MUI sekaligus Rois PBNU, KH Makruf Amien, demi kepentingan stabilitas politik dan mengkanalisasikan aspirasi umat melalui representasi figur utama fakta tersebut. Tapi ternyata, gerakan oposisi umat terhadap rezim tak mereda. Wacana kebangkitan komunis, kriminalisasi ulama, tirani dan ketidakadilan, tetap kuat menjadi arus perlawanan umat Islam terhadap rezim. Ini berarti KH Makruf Amien bukan personifikasi kepentingan umat, bukan pula simbol pemersatu kekuatan umat Islam. Aspirasi dan kekuatan mayoritas penduduk tetap tak bisa disimplifikasi menjadi "wadah tunggal".


Adalah fakta, umat yang menurut World Population Review mencapai 229 ribu atau 87,2 persen dari 273,4 juta di Indonesia, diwadahi oleh 33 ormas Islam. Memang ormas Islam terbesar adalah NU dan Muhammadiyah. Karena itu, MUI sekadar wadah silaturrahmi dan musyawarah antar umat Islam, baik yang bergabung pada satu ormas Islam maupun mandiri. Sementara, MUI ingin lebih dari itu, layaknya Majlis Islam A'la Indonesia (MIAI) pada zaman Jepang, ahistoris dengan kultur hibrida dalam tubuh umat Islam. Tiap umat punya otonomi  beragama sendiri yang khas dan unik, ditinjaua dari kalam, fiqih maupun tasawwuf.


Syeikh Yusuf Qardhawi, mengetengahkan Fiqhul Ikhtilaf, agar perbedaan pendapat tak sampai membawa perpecahan. Studi Islam diwarnai oleh ragam pemikiran kalam, fiqih dan tasawwuf yang sangat kaya raya. Syeikh Ali Jumah melarang, mengkafirkan orang selagi min ahli lailaha illa Allah, kendati alirannya berbeda dengan paham dan keyakinan yang dianut. Setiap orang punya kemerdekaan berkeyakinan dan melaksanakan ibadah berdasarkan keyakinan tersebut. Penguasa tak berhak memaksa suatu aliran apa pun dan kepada siapa pun pula. Itu hak yang dijamin oleh konstitusi Allah SWT sendiri. "Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir" (QS Al-Kahfi:29).


Dalam sejarah, rezim penguasa yang mengintervensi kebebasan berkeyakinan, banyak mengalami kegagalan. Kendati, banyak tokoh yang disiksa dan dipenjara, tidak bisa merubah peta bumi teologi umat. Apalagi, belajar dari manaqib imam madzhab yang 4, saat berhadapan dengan rezim tiran. Abu Hanifah pernah dijebloskan ke penjara  oleh Yazid Bin Hubairoh, Gubernur Irak, selama 10 hari dan setiap hari dihukum cambuk 10 kali. Imam Malik pernah dipukul 30 kali oleh Jakfar Bin Sulaiman, Gubernur Madinah. Imam Syafii nyaris dieksekusi mati oleh Harun Al-Rasyid, dipenjara selama 30 bulan dan dihukum cambuk oleh Al-Makmun. Dan, Imam Hambali dipenjara oleh Al-Makmun dan baru dibebaskan setelah rezim berganti Al-Mutawakkil.


Pengalaman buruk Imam Madzhab fiqih dunia di atas, merupakan gambaran resiko berhadapan dengan rezim penguasa. Kekuasaan partisan berfaham tertentu, seringkali dijadikan "alat" untuk menggebuk faham lain. Rezim penguasa muktazili yang rasional umpamanya, bisa bertindak irasional, seperti yang dilakukan oleh Khalifah Bani Abbasiyah. Sebab, memang watak asli kekuasaan seringkali disalahgunakan. Atas dasar latar belakang ini, para ulama memandang perlu membangun relasi positif dengan kekuasaan. Tentu misinya, dalam rangka menguatkan ajaran, dan mendapat support struktur kekuasaan untuk mengamalkan ajaran agamanya. Hal ini senada dengan ungkapan, almulk biddini yaqwa wad dinu bilmulk yaqdha (kekuasaan yang ditopang dengan agama akan kuat, dan agama yang ditopang dengan kekuasaan akan kekal). Juga, dalam ungkapan lain, annas ala dini mulkihi (manusia bergantung atas agama penguasanya).


MUI memang didirikan dengan salah satu niat untuk membangun hubungan yang baik dengan pemerintah. Sebab itu, MUI sebagai pemangku ulama dan pemerintah sebagai pemangku umara, harus menjalin hubungan yang simbiosis-mutualisme, demi kebaikan umat dan bangsa. Hadits riwayat Ibnu Majah menjelaskan: "Shinfaani, dua golongan besar bila keduanya baik, maka baiklah umat manusia. Dan bila mereka buruk, maka hancurlah umat manusia, yaitu ulama dan umara".


Namun demikian, hubungan ulama dan umara di Indonesia mengalami pasang surat, bergantung posisi ulama dalam kekuasaan negara.   Idealnya, ulama iya umara, umara iya ulama, dengan melibatkan ulama dalam proses kandidasi pemimpin nasional, regional dan lokal. Minimal, ulama dan umara harus bermitra dengan baik, dengan menjaga toleransi terhadap tugas dan fungsi masing-masing dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.


Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute

Bagikan:

Komentar