|
Menu Close Menu

Arang di Wajah Demokrasi AS

Sabtu, 09 Januari 2021 | 06.37 WIB



Oleh Moch Eksan


Kekerasan di Capitol Hill, oleh dunia disebut sebagai kejadian yang memalukan. Tak bisa dibayangkan, bagaimana gedung yang menjadi simbol demokrasi Amerika Serikat menjadi arena vandalisme massa pendukung Donald Trump. Ruang rapat paripurna para senator diobrak abrik, untuk mempressure anggota Kongres yang sedang bersidang untuk mengesahkan hasil electoral collage dari berbagai negara bagian. 


Aksi protes tersebut berhasil menghentikan dan menunda sidang kongres beberapa jam. Sampai waktunya, Wakil Presiden AS, Mike Pence, melanjutkan acara seremonial kenegaraan yang berlangsung sukses dan lancar. Joe Biden resmi ditetapkan oleh Kongres AS sebagai presiden terpilih periode 2021-2024.


Namun demikian, demi kehormatan Gedung Capitol Hill dan upaya melawan kecurangan Pilpres AS halusinatif, bentrok antara aparat polisi dan massa pendukung Trump tak bisa dihindari. Dilaporkan, ada 5 orang tewas, 1 polisi dan 4 orang massa. 


Gedung yang lazim menjadi tempat beradu argumen soal prosperity and peace (kemakmuran dan perdamaian) AS dan dunia, justru jadi lokasi tawuran massa dan ladang pembantaian manusia. Ini pertanda kebangkrutan moral demokrasi dunia yang selama ini dianggap sebagai bentuk pemerintahan terbaik pasca perang dingin.


Francis Fukuyama, dalam The End of History and The Last Man, menyatakan bahwa demokrasi liberal ala Barat adalah evolusi sosial budaya umat manusia dan bentuk pemerintahan manusia paling akhir.


Selepas insiden kekerasan 6 Januari 2021, tesis Fukuyama tersebut keabsahannya boleh jadi dipertanyakan kembali. Ternyata, benar pendapat 

Presiden Foundation for the Study of Democracy, Maxim Sergeevich Grigoriev, menyebut sistem demokrasi AS bukanlah yang terbaik di dunia.


Semua menyalahkan Trump, termasuk 4 mantan presiden AS, mulai dari Jimmy Carter, Bill Clinton, George W Bush sampai Barack H Obama. Trump mencoreng arang di wajah demokrasi AS sendiri. Dengan insiden kekerasan di Capitol Hill, ternyata AS bukan penganut nilai demokrasi yang taat. 


Nafsu kuasa dan menang sendiri mendorong sebagian anak ideologisnya berbuat onar dan huru-hara. Apapun dan siapapun disajikan sebagai tumbal kekuasaan hatta nyawa anak kesayangannya sendiri. Lupa, kekerasan kata Yudi Latief merupakan musuh utama demokrasi.


Penggunaan kekerasan dalam demokrasi merupakan persekutuan satanic democracy (demokrasi setan), lawan dari angel democracy (demokrasi malaikat). Tom Helder Camara, sudah mengingatkan bahwa kekerasan akan melahirkan kekerasan, ia bagaikan spiral yang menyeret semua pelaku kekerasan pada kekerasan personal, institusional dan struktural. Kekerasan itu akan berwujud ketidakadilan, kerusuhan sosial dan represi negara.


Sistem demokrasi menghendaki suksesi kepemimpinan berjalan damai, dan transisi kekuasaan berjalan dengan tertib dan aman. Trump kendati sekarang sudah mengakui kekalahan dan menyiapkan transisi pemerintahan baru AS, ia tetap menjadi ancaman demokrasi dan hak asasi manusia (HAM). 


Ketua DPR AS, Nancy Pelosi mengancam memakzulkan Trump kedua kali guna mengakhiri ketidakpastian politik di AS. Apalagi, peta politik AS sekarang antara anggota DPR dan Senat dikuasai oleh Partai Demokrat.


Kendati, waktu yang tersedia sangat sempit, dan jadwal pelantikan presiden, 20 Januari 2021 sudah di depan mata. Minimal, pernyataan Pelosi merupakan perang urat saraf untuk menaklukan Trump dan ternyata terakhir ia memang menyerah kalah.


Ibarat nasi sudah menjadi bubur, pesona demokrasi AS mulai memudar, dan karier politik Trump tamat sudah. Negara Paman Sam kehilangan legitimasi moral untuk menganjurkan demokratisasi di negara dunia ketiga. Negara-negara di Arab Spring yang berjibaku dalam perjuangan demokrasi atas intervensi AS, tak logis lagi, mengadopsi sistem demokrasi AS tanpa mengakomodir local wisdom (kearifan lokal). Unsur terakhir mesti harus lebih dominan untuk memberi corak dan basis nilai dan budaya sendiri dari demokrasi yang dibangun.


Demokrasi Indonesia bisa menjadi contoh negara muslim terbesar yang bisa menyepadankan Islam dan demokrasi dalam satu tarikan nafas. Mesir pernah belajar transisi demokrasi kepada Presiden BJ Habibie, sedangkan Afghanistan belajar kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla. Di atas semua itu, ada juga ajaran Gus Dur soal demokrasi, humanisme dan pluralisme yang bisa dijadikan sumber nilai dan pengalaman dari transisi kekuasaan yang aman dan damai.


Meski demokrasi Indonesia masih jauh dari kata ideal, akan tetapi masih lebih baik dari AS. Wabilkhusus dalam pelaksanaan Pilpres dengan segala dinamikanya. Kedua negara demokrasi terbesar ke-2 dan ke-3 di dunia ini, banyak kesamaan dalam polarisasi politik dari para pendukung calon. Kualitas demokrasi kita lebih baik dari mereka. Demi kepentingan bersama, calon presiden yang bertarung sengit pada Pilpres 2019, kini melebur menjadi satu kesatuan, menghadapi pandemi Covid-19 dan menuju Indonesia merdeka dan Indonesia Jaya. 


Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute.

Bagikan:

Komentar