|
Menu Close Menu

Idul Adha di Rumah, Perspektif Fiqih Pandemi

Minggu, 18 Juli 2021 | 13.53 WIB



Oleh Moch Eksan


Opini-Yaqut Cholil Quomas, Menteri Agama Republik Indonesia, telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 14/2021 tentang Peniadaan Sementara Peribadatan di Tempat Ibadah, Malam Takbir, Sholat Idul Adha, dan Petunjuk Tehnis Pelaksanaan Qurban Tahun 1442 H/2021 M di Wilayah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat.


Dengan SE Menag ini, mau tidak mau, saya harus melaksanakan sholat Idul Adha di rumah. Sudah 2 kali hari raya besar, saya beserta keluarga melakukannya. Kondisi Pandemi Covid-19 ini, memaksa umat Islam mengikuti hukum darurat. Yaitu mengacu pada pedoman beribadah yang tak selazim ketentuan fiqih pada umumnya.


Nasaruddin Umar Official (NUO), meluncurkan buku Fikih Pandemi, Beribadah di Masa Wabah, yang ditulis oleh Faried F Saenong dkk, sebagai bahan edukasi. Saya juga mendownload e-book gagasan Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Prof Dr KH Nasaruddin Umar, MA. 


Sayangnya, buku setebal 111 halaman tersebut tak memuat tentang Idul Adha. Walau cara ibadah sholatnya sama dengan sholat Idul Fitri, ketentuan berqurban semestinya ada. Termasuk ibadah haji berkaitan dengan bulan Dzulhijjah ini.


Bulan Dzulhijjah biasa disebut juga bulan besar. Bulan terakhir dari kalender Hijriyah yang berisi pelaksanaan ibadah haji, puasa sunah, takbir, sholat Idul Adha, dan penyembelihan hewan kurban. 


Idul Adha di Pulau Madura lebih meriah daripada Idul Fitri, seperti di Makkah. Para perantau asal Pulau Garam pada 'toron' atau pulang kampung. Otomatis, dengan PPKM Darurat ini, banyak orang Madura rantau tak bisa merayakan tellasan rajeh (hari raya besar) bersama keluarga di tempat kelahirannya.


Idul Adha merupakan salah satu hari besar agama Islam yang ditetapkan sebagai hari libur nasional.Tanggal merah tersebut, adalah dedikasi negara terhadap umat Islam untuk menyelenggarakan sholat berjamaah 2 rokat dengan khusyu' dan tuma'ninah.


Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, mengungkapkan bahwa ulama sepakat prosesi Idul Adha dengan sholat 2 rakaat sebelum khotbah. Pada rakaat pertama 8 kali takbir beserta takbiratul ihram dan rakaat kedua 6 takbir beserta takbir setelah berdiri dari sujud. 


Pendapat di atas dari Imam Malik dari Ibnu Umar yang berkata: "Saya menyaksikan sholat Idul Adha dan Idul Fitri bersama Abu Hurairah, maka ia takbir pada rakaat awal 7 kali sebelum pembacaan Al-Fatihah dan di rakaat terakhir 5 kali sebelum pembacaan surat itu. Praktek di Madinah juga berlaku demikian.


Imam Syafi'i mengambil pendapat Imam Malik di atas dengan mentakwil takbir 7 kali pada rakaat awal tak termasuk takbiratul ihram, juga takbir 5 kali pada rakaat akhir tak termasuk takbir setelah sujud. Sehingga bila dihitung dengan takbir sebelumnya jumlahnya 8 dan 6.  Bilangan takbir ini mengkombinasikan atsar dan praktek penduduk Madinah mulai dari dulu sampai sekarang.


Yang biasa dipraktekkan di Indonesia, selain setelah takbiratul ihram membaca doa iftitah, juga membaca tasbih, tahmid, tahlil, takbir dan hauqalah setiap usai takbir. Baru setelah itu membaca Al-Fatihah dan Al-A'la pada rakaat pertama dan Al-Ghasyiah pada rakaat kedua. Mayoritas ulama mensunnahkan pembacaan dua surat di Juz 'Amma tersebut karena riwayat ini sangat populer dilakukan oleh Rasulullah SAW.


Imam Hanafi mewajibkan 2 sholat Ied kepada seluruh  penduduk. Sementara Imam Syafi'i mensunnahkannya, baik bagi penduduk mukim maupun dalam perjalanan. Rasulullah SAW juga memerintahkan seluruh perempuan untuk hadir pada prosesi sholat Ied tersebut. Kendati perempuan itu sedang haid dan nifas. Cara ini dilakukan untuk show of force (unjuk kekuatan) umat Islam pada khalayak umum. Bahwa umat Nabi Muhammad SAW ini merupakan umat yang besar dan kuat, baik dari segi jumlah maupun persatuan.


Namun di era Pandemi Covid-19, Idul Adha tidak diperbolehkan dikerjakan di masjid atau lapangan yang berpotensi menimbulkan kerumunan. Dengan begitu  membuka peluang lebar-lebar mutasi virus varian Delta yang dikenal ganas dan sangat mematikan. Prosesi sholat ini dari segi kesehatan lebih aman di rumah bersama keluarga inti. Meski cara ini menghilangkan dimensi syiar Islam yang menjadi hikmatut tasyrik wa falsafatuh dari islamisasi warisan budaya Jahiliyah Quraisy.


Syeilkh Ibrahim Al-Bajuri dalam kitab Hasyiyah Al-Bajuri ala Ibni Qosim Al-Gazy, menuliskan bahwa Nabi Muhammad SAW melaksanakan sholat Idul Fitri maupun Idul Adha pertama kali pada tahun ke-2 Hijriah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Jalaluddin As-Suyuthi. Kata Ied yang berasal kata 'aud. Huruf wa diganti ya. Kata jama' dari kata Ied adalah a'yad dengan huruf ya yang menunjukkan sesuatu perkumpulan. 


Sebuah perkumpulan untuk ikmalul 'ibadah (menyempurnakan ibadah). Idul Fitri untuk menyempurnakan ibadah puasa. Sedangkan, Idul Adha untuk menyempurnakan ibadah haji. Sholat Ied sejatinya persuan agung tahunan. Kemudian yang mingguan adalah sholat Jum'at. Sementara, persuan agung di akhirat tatkala berjumpa dengan Allah SWT.


Dalam pelaksanaan pasuan agung tahunan, terjadi perdebatan tentang hukum pelaksanaan sholat Ied. Al-Bajuri merangkum perdebatan hukum secara apik. Pensyarah Kitab Fathul Qarib ini mengatakan: Imam Malik menetapkannya sunnah. Abu Hanifah mefatwakan wajib a'in. Imam Hambali memutuskan fardu kifayah. Sementara Imam Syafi'i mewajibkan kepada orang yang wajib sholat Jum'at. Pelaksanaan sholat Ied lebih utama di masjid lantaran kemuliaannya, kecuali li'udzrin (karena udzur) seperti masjid sempit. Umat Islam dapat melaksanakan di luar masjid.


Pandemi Covid-19 lebih dari cukup untuk dimaksukkan pada katagori "udzur syar'i" dari peniadaan sholat Idul Adha di masjid. Apalagi peningkatan kasus positif baru dan meninggal karena Covid-19 telah mengancam keselamatan jiwa manusia. Munfarid, musafir, budak dan perempuan tak disunnahkan sebagaimana tak diwajibkan sholat Jum'at atas mereka. Malahan jamaah haji dianjurkan sholat sendiri sebab kesibukan kegiatan ibadah haji.


Lebih dari itu, ketentuan hukum Al-Bajuri sangat moderat terhadap mereka yang hidup menyendiri. Diperkenankan melaksanakan sholat Ied sendiri tanpa berjamaah dan tanpa khotbah pula. Sebab dalam pandangannya, ketentuan berjamaah dalam sholat Ied itu "mathlubun fiha" (diharapkan).


Dari uraian di atas, sangat jelas sholat Idul Adha di rumah memiliki dasar hukum fiqih pandemi yang sangat kuat. Pelaksanaannya di rumah tak mengurangi nilai spiritual apa pun. Yang terpenting, peningkatan ketaatan dan ampunan dari Allah SWT. Al-Bajuri menyampaikan esensi hari raya dengan kata mutiara berikut:


"Hari raya bukan bagi orang yang memakai baju baru, melainkan bagi orang yang ketaatannya bertambah.


Hari raya bukan bagi orang yang baju dan kendaraannya bagus, melainkan bagi orang yang dosa-dosanya diampuni".


*Moch Eksan, Pendiri Eksan Istitute.

Bagikan:

Komentar