|
Menu Close Menu

PPKM Kurang Efektif, Saatnya Gandeng Ormas dan Pesantren

Jumat, 23 Juli 2021 | 20.28 WIB



Oleh Moch Eksan


Opini- "Warga masih takut dengan vaksin. Ini pekerjaan rumah kita semua. Target yang mau divaksin 300 orang, ternyata banyak yang tutup pintu. Tidak mau keluar, takut divaksin. Padahal vaksin ini penting untuk perlindungan diri'. Kutipan pernyataan Bupati Jember, Ir Hendy Siswanto, yang dimuat oleh Beritajatim (23/7/2021), menggambarkan realitas di lapangan.


Betapa pekerjaan rumah terbesar dari upaya kesehatan di Indonesia adalah "edukasi". Sekali lagi "edukasi". Padahal, pemerintahan Kabupaten sudah merespon keluhan warga dengan cepat dan membuat formula kebijakan yang komprehensif dalam penanganan Pandemi Covid-19 di Kaliglagah, Sumberbaru, Jember, Jawa Timur.


Bupati dan Wakil Bupati beserta jajaran turun langsung ke lokasi tempat kejadian dengan pasukan penuh. Tracing 50 orang, vaksinasi 300 orang, 1300 paket sembako, 1000 masker, 100 pembelian produk UMKM lokal. Sayangnya, sambutan warga kurang antusias. Buktinya, tracingnya hanya diikuti oleh 25 orang dan vaksinasi sebatas 30 orang.


Program Dinas Kesehatan yang merupakan inti dari pengendalian penyakit menular ini, sungguh sambutannya di luar ekspektasi. Hairul Ulum salah satu tokoh agama setempat sudah mengajak warga agar berbondong-bondong datang untuk melakukan test swab antigen dan mengikuti vaksinasi dalam membangun herd immunity (kekebalan kelompok).


Ternyata kesadaran tes dan vaksin warga sangat rendah. Mereka banyak termakan oleh informasi yang salah. Bila dites takut positif kemudian dikarantina. Bila divaksin jatuh sakit terus meninggal. Dan lain sebagainya. Beban tugas pemerintah bukan sekadar penanganan Covid-19 tetapi meluruskan informasi yang salah tersebut.


Secara umum, pemerintah kewalahan menghadapi teori konspirasi, opini, stigmasi dan persepsi warga yang salah terhadap penyebaran virus Corona. Ini merupakan konsekuensi dari runtuhnya pemerintah sebagai sumber informasi tunggal. Rujukan berita bisa mengacu pada sumber dari luar pemerintahan. Banyak kesalahpahaman terhadap kebijakan lantaran masyarakat punya konstruksi pemahaman tersendiri yang berbeda dengan pemerintah.


Dalam menyelesaikan kesimpangsiuran, pemerintah mesti melakukan konsolidasi informasi dengan berkerjasama gandeng ormas dan pondok pesantren seluruh Indonesia. Tokoh agama, kiai, ustadz, guru ngaji, santri, alumni dan masyarakat pesantren jadikan ujung tombak edukasi kesehatan. Mereka terbukti yang paling banyak berhasil mewujudkan kekebalan kelompok. Ini buah dari disiplin dan keteladanan dalam menjalankan protokol kesehatan.


MENCONTOH PROKES PESANTREN

Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang masih dapat melaksanakan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) sampai sekarang. Di luar itu pembelajaran sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi, baik lembaga pendidikan di bawah naungan Kemendikbudristek maupun Kemenag, semua dilaksanakan secara daring.


Memang, sempat muncul klaster Covid-19 di pesantren. Kasus Pondok Pesantren Darussalam Gontor Mantingan Ngawi, serta Pondok Pesantren Darussalam Blok Agung, Banyuwangi. Tapi, kedua pesantren besar di Jatim telah berhasil memutus mata rantai penularan virus Corona di kalangan santri, dan kini sudah bangkit dari Pandemi Covid-19. 


Mereka sudah menjalankan kegiatan pesantren seperti biasa. Sekolah, ngaji, sholat berjamaah, dan kegiatan ekstrakurikuler pesantren berlangsung massif. Cuma kunjungan orang tua dibatasi, tak boleh keluar pesantren, dewan guru dan santri sudah divaksin, santri yang balik ke pesantren harus tes swab antigen, serta masyarakat sekitar pesantren juga dibatasi dengan Prokes yang ketat.


Prokes pesantren di atas jamak berlaku di berbagai pesantren lainnya. Sebut saja Pesantren Lirboyo Kediri, Pesantren Tebuireng Jombang, Pesantren Sidogiri Pasuruan, Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo, Pesantren Raudhatul Ulum Sumberwringin Jember, dan lain sebagainya. Para pengasuh pesantren tersebut punya kesadaran penuh untuk mematuhi Prokes demi keselamatan dan kelancaran pembelajaran pesantren.


Jadi, lockdown yang paling benar ala pesantren itu. Benar-benar menjaga keluar masuknya penghuni pesantren. Mobilisasi dan interaksi sosial santri dibatasi dengan dunia luar dan sebaliknya.Tak sembarang orang bisa masuk, hatta pejabat sekalipun. Mereka harus melalui penjagaan yang ketat dan lolos tes kesehatan.


Dengan prokes yang sedemikian ketat saja, masih banyak pengasuh pesantren berguguran menjadi korban keganasan virus asli Wuhan China. Ketua Rabithah Ma'ahidil Islamiah (RMI), KH Abdul Ghaffar Rozin, mencatat sampai 4 Juli 2021, ada 584 ulama yang meninggal dunia karena terpapar virus ini. Mereka kebanyakan dari Jawa Tengah dan Pulau Madura.


Sesungguhnya, ketauladanan pesantren tak kurang-kurang mendukung pemerintah dalam mencegah penularan virus Corona. Salah satunya, pada saat KH Nawawi Abdul Jalil meninggal dunia, dewan pengasuh melarang alumni dan simpatisan Pesantren Sidogiri untuk takziyah ke rumah duka. Keluarga almarhum menggelar Tahlil Virtual yang disiarkan langsung melalui akun media sosial pesantren sendiri. Semua untuk menghindari kerumunan yang rentan menimbulkan kasus positif baru.


Ada juga pesantren yang aktif berperan dalam mengembangkan literasi kesehatan. Pesantren Lirboyo contohnya, menerbitkan buku Khazanah Fikih Kedokteran, Kajian Hukum, Sejarah dan Hikmah Syariah dalam Dunia Medis. Buku yang ditulis oleh Forum Kajian Ilmiah As-Syifa Ma'had Aly Lirboyo ini banyak mendapatkan apresiasi dari kalangan tenaga kesehatan.


Prof Dr dr Rochmad Romdoni Sp.PD Sp.JP (K), Direktur Rumah Sakit Islam Jemursari Surabaya misalnya, mengatakan bahwa buku karya santri Lirboyo dapat menyajikan secara sistematis ilmu kedokteran dan ilmu fikih secara mendalam. Hukum dan aturan dalam penerapan ilmu kedokteran modern.


KERJASAMA YANG JELAS

Memang, sejumlah ormas dan pesantren memiliki sekolah tinggi keperawatan atau fakultas kesehatan, ada pula yang punya klinik. Inilah yang mendorong ormas dan pesantren care terhadap kesehatan masyarakat. Mahasiswa dan Santri mahasiswa kesehatan tersebut bisa dijadikan relawan dalam penanganan Pandemi Covid-19.


Namun demikian, kerjasama pemerintah, ormas dan pesantren harus melibatkan struktur dari tingkat pusat sampai dengan ranting. Jumlah pesantren yang mencapai 31.385 dengan jumlah santri 4,9 juta ini tak melulu berafiliasi pada NU dan Muhammadiyah. Ada juga yang berafiliasi pada ormas Islam lain yang mencapai 40 ormas. Semua harus dilibatkan dalam perang melawan Virus Corona ini.


Kerjasama antar Ormas Islam di bawah Wakil Presiden KH Ma'ruf Amien sewaktu menjadi Ketua Umum MUI, bisa menjadi modal sosial dalam menyukseskan 3 T (testing, tracing dan treatment). Selain, penyadaran umat Islam Indonesia sebagi inti kekuatan pembangunan kesehatan di Tanah Air.


Selama ini, pembangunan kesehatan bertumpuh pada tindakan kuratif, sedangkan tindakan preventif diabaikan. Akibatnya, pada saat terjadi epidemi atau pandemi penyakit, banyak masyarakat tak sadar. Bagaimana penyakit itu menular dan bagaimana cara pencegahannya. 


Dalam konteks ini, Covid-19 merupakan penyakit saluran pernapasan yang menular melalui doplet atau percikan ludah yang masuk langsung ke tubuh melalui mata, hidung dan mulut. Atau bisa juga menyebar melalui tangan memegang sesuatu terkontaminasi virus dan menyentuh wajah (mata, hidung dan mulut) tersebut.


Disinilah pentingnya penggunaan masker dan menjaga jarak sampai 6 kaki atau 2 meter antara satu sama lain. Begitu pula manfaat rajin cuci tangan. Supaya terhindar dari doplet atau sesuatu yang terkontaminasi virus. Peran semua tokoh, baik ormas maupun pesantren, sangat penting untuk menyadarkan disiplin Prokes, bila tak ingin tertular atau menularkan virus kepada orang lain.


Di atas semua itu, kerjasama pemerintah, ormas dan pesantren harus jelas hak dan kewajiban masing-masing. Jangan sampai ada ungkapan sumer, kalau tiba waktu perang mengajak sama-sama, pada giliran pesta tak ada kabar, tak ada berita. Sungguh, sebuah kerjasama yang memperdaya bukan memberdayakan. Nauzubillah min dzalik!


*Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute

Bagikan:

Komentar