|
Menu Close Menu

Nasib JKP Pasca Putusan MK

Minggu, 28 November 2021 | 10.21 WIB



Oleh Moch Eksan


Lensajatim.id, Opini- Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 berimplikasi secara langsung terhadap keberadaan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Program baru dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan ini kehilangan kekuatan hukumnya. Sebab, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dinyatakan bahwa  proses pembentukannya bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 dan tak punya kekuatan hukum yang mengikat, selagi prosesnya tidak dilakukan perbaikan dalam rentang 2 tahun.


Konsekuensi-logis dari putusan yang dibacakan dalam Sidang Pleno MK pada Rabu-Kamis, 3-4 November 2021 ini, program penyelenggaran JKP berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2021, diwarnai ketidakpastian hukum. Apalagi, salah satu amar putusan selain memerintahkan untuk melakukan perbaikan satu sisi, sisi lain juga tidak membolehkan pembuatan peraturan pelaksana dan serta mengeluarkan kebijakan strategis dan berdampak luas.


Ketidakpastian hukum akibat keputusan MK yang diwarnai disetting opinion (pendapat berbeda) 4 hakim dari 9 hakim MK, berdampak serius bagi iklim usaha dan ketenagakerjaan di Indonesia. Padahal, para pengusaha membutuhkan kepastian agar tak ragu untuk membangun dan mengembangkan usaha di Tanah Air.


Peran pengusaha sangatlah penting untuk keluar dari krisis dan bangkit dari Pandemi Covid-19. Banyak perusahaan yang gulung tikar dan terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap buruh. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi, ada 29,4 juta buruh yang terkena PHK selama Virus Corona berlangsung.


Dengan demikian, iklim usaha dan ketenagakerjaan sekarang tak kondusif bagi ikhtiar pemerintah melakukan economic recovery. Pasti banyak pengusaha memilih menahan diri untuk mengembangkan investasi. Sementara, banyak organisasi buruh membaca amar putusan MK sebagai peluang untuk mempressure pembuat UU dengan turun ke jalan kembali.


Suka tidak suka, Putusan MK memicu instabilitas politik dan keamanan kembali, seperti awal pembentukan UU Cipta Kerja yang diwarnai demonstrasi ricuh, bentrok massa serta korban luka di berbagai daerah di  pelosok Nusantara. Oleh karena itu, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) wajib segera melaksanakan perintah MK untuk memperbaiki proses pembentukan UU Cipta Kerja. Bila tidak, maka ongkos sosial dan ekonomi berpotensi menjerumuskan Indonesia pada krisis multidimensional yang kian parah.


Barangtentu, semua pihak menginginkan momentum melandainya kasus baru Covid-19, menjadi era kebangkitan ekonomi nasional yang terpuruk 2 tahun terakhir. Momentum itu nampak jelas dari menggeliatnya kegiatan ekonomi masyarakat. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi nasional positif pada kuartal III, 3,51 persen year on year (yoy). Ini pertanda ekonomi mulai bergerak, setelah mandeg akibat serangkaian kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan sosial masyarakat (PPKM) yang menurunkan produktivitas nasional.


Kondisi ekonomi yang sudah mulai membaik, jangan sampai rusak kembali akibat pembuat UU lambat dalam merespon dan membuat agenda tindak lanjut Keputusan MK. Ekonomi Indonesia pasti akan kehilangan kesempatan emas  untuk pulih dan bangkit menjadi kekuatan ekonomi yang penting dan strategis dunia.


Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menyebutkan bahwa dunia mengalami konstraksi ekonomi minus 3,2 persen di masa Pandemi Covid-19.  Ekonomi Indonesia justru segera bangkit dari pertumbuhan negatif pada pertumbuhan positif. Keberhasilan memutus matarantai infeksi Virus Corona dengan kematian, juga beriringan dengan kemampuan pemerintah dan dunia usaha mencegah kedalaman kemorosotan ekonomi nasional.


Memang low response di atas, barangkali pemerintah dan DPR sedang melakukan kajian dan telaah mendalam  terhadap Keputusan MK. Namun, waktu nyaris 1 bulan ini lebih dari cukup untuk menyikapi keputusan setebal 448 halaman ini. MK dalam 9 amar putusannya sama sekali tak menyentuh klausul UU Omnibus Law, tetapi pada proses pembentukannya saja yang dinilai melanggar konstitusi.


Senyampang, pemerintah dan DPR dapat memperbaiki proses pembentukan UU Cipta Kerja ini, maka UU atau pasal-pasal atau materi UU yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja akan berlaku kembali, meskipun perbaikan proses pembentukan UU belum tuntas. Disinilah peluang terbuka, nasib JKP tetap berlaku kembali sebagai program jaminan sosial bagi buruh korban PHK di Tanah Air.


Pada kesempatan menjadi narasumber Webinar tentang "Memperkuat Perlindungan Pekerja yang di-PHK melalui Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) BPJamsostek", pada Sabtu, 27 Nopember 2021 jam 14.00 WIB via Zoom Meeting, saya menjawab pertanyaan tentang perbedaan antara pesangon dan JKP. Keduanya berbeda dari sumber pendanaan maupun lembaga penyalur dana tersebut.


Bahwa pesangon adalah sejumlah dana yang diberikan kepada buruh yang berakhir masa kerja atau mengalami PHK. Pasal 150 dan Pasal 156 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mewajibkan kepada pengusaha untuk memberikan sejumlah dana terhadap buruh sebagai bentuk penghargaan masa kerja atau pengganti hak.


Sementara, JKP merupakan program jaminan sosial buruh yang terkena PHK. Mereka memperoleh manfaat uang tunai yang berasal dari pembayaran iuaran kepesertaan BPJS ketenagakerjaan. Berdasarkan Pasal 19 ayat (3) PP Nomor 37 Tahun 2021, buruh korban PHK yang telah 12 bulan dari 24 bulan masa iur sebagai peserta, serta paling sedikit telah membayar 6 kali berturut-turut yang dapat mengajukan klaim.


Jadi, selama masa perbaikan pembentukan UU Cipta Kerja, buruh korban PHK mendapat uang Pesangon bukan uang tunai JKP. Lantaran MK memutuskan untuk menunda atau membekukan   pemberlakuan program JKP, sampai pembuatan UU menyelesaikan atau tidak berbagai ketentuan dalam UU Cipta Kerja.


Bila pemerintah dan DPR memutus untuk tak memperbaiki UU Cipta Kerja, maka yang berlaku rezim UU Ketenagakerjaan yang mengatur uang pesangon. Dan sebaliknya, apabila kedua lembaga negara tersebut memperbaiki UU Cipta Kerja, maka yang berlaku rezim UU Cipta Kerja yang mengatur uang tunai JKP. Wallahu a'lam bisshawab.


*Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute.

Bagikan:

Komentar