|
Menu Close Menu

Praperadilan dan Gesekan PH-APH

Minggu, 16 Juli 2023 | 15.39 WIB




Oleh: Ribut Baidi*



Lensajatim.id, Opini- Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah mengatur praperadilan sebagai bagian dari hak melalui permohonan kepada pengadilan negeri yang dilakukan oleh tersangka, keluarga, atau kuasanya terkait dengan sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Praperadilan juga meliputi permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.  


Pengaturan tentang praperadilan tersebut bisa ditemukan di dalam Pasal 1 angka 10 huruf a, b, dan c KUHAP, Pasal 77-83 KUHAP, Pasal 124 KUHAP. Kemudian, obyek praperadilan diperluas melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014 meliputi pemeriksaan penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan. Putusan MK tersebut telah membuka cakrawala hukum yang luas kepada publik bahwa hak hukum orang yang diduga melakukan tindak pidana tidak boleh diproses secara sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum (APH). 


Tujuan Praperadilan dan Perlindungan HAM


Amir Ilyas dan Apriyanto Nusa (2017) menegaskan hukum pidana (materiil dan formil) adalah hukum istimewa karena hukum dimaksudkan melindungi manusia terhadap adanya pelanggaran hak-haknya. Sedangkan hukum pidana justru dibuat untuk merampas hak-hak tersebut dalam kondisi tertentu, dan kondisi tertentu itulah seharusnya sangat dibatasi dan adanya garis yang tegas tentang batas-batasnya. Hukum melindungi hak asasi manusia (HAM) terutama hak hidup. Sedangkan hukum pidana menciptakan pidana mati yang akan menghilangkan hak yang paling asasi tersebut. Hukum dibuat agar melindungi manusia untuk bergerak ke mana saja yang dikehendaki, sedangkan hukum pidana mengatur pemenjaraan dan hukum acara pidana mengatur penahanan. Hukum juga melindungi ketentraman rumah tangga orang, padahal hukum acara pidana mengatur penggeledahan rumah/kediaman. Melalui praperadilan, upaya penyimpangan yang terjadi selama proses penyidikan dan penuntutan bisa dikoreksi. Praperadilan merupakan tuntutan bagi pejabat yang terlibat dalam proses penyidikan dan penuntutan, terutama bagi penyidik dan penuntut umum agar berhati-hati dan profesional dalam menjalankan tugasnya demi tegaknya rule of law. 


Upaya menguji objektifitas proses penanganan perkara pidana di tingkat penyidikan maupun penuntutan oleh tersangka, keluarga, maupun oleh kuasanya melalui praperadilan terkadang menghadapi berbagai macam tantangan. Hal yang lazim dirasakan, terutama oleh penasihat hukum (PH) yang menjadi kuasa harus berhadap-hadapan dengan penyidik atau penuntut umum, baik di dalam persidangan maupun setelah selesai persidangan. Timbulnya rasa tidak nyaman maupun retaknya hubungan PH-APH dimungkinkan potensial terjadi. Padahal, praperadilan sebenarnya dilakukan untuk menguji apakah proses yang telah dilakukan oleh penyidik maupun penuntut umum sudah sesuai dengan prosedur hukum atau sebaliknya. Belum lagi, kendala yang dihadapi oleh PH, ketika obyek yang dimohonkan praperadilan, kemudian dilakukan pelimpahan berkas perkara oleh penyidik kepada penuntut umum agar upaya praperadilan tersebut menjadi gugur. 


Praperadilan yang sejatinya menguji apakah tidak ada sama sekali pelanggaran HAM terutama bagi tersangka adalah hak hukum yang harus ditempuh sebelum adanya pelimpahan berkas perkara atau sebelum adanya sidang pokok perkara di pengadilan. Kita harus menyadari bahwa munculnya konsep praperadilan tidak akan bisa dilepaskan dari historis yang sangat panjang terhadap urgensi pengawasan proses penegakan hukum, terutama yang menyangkut tindakan perampasan kebebasan hak asasi masyarakat sipil.


Sofyan Lubis (2010) menyatakan dalam perspektif “Miranda Rule”, HAM merupakan hak kodrat moral sebagai hak-hak dasar manusia yang melekat secara langgeng pada diri manusia sejak lahir. Hak asasi tersebut bukanlah pemberian masyarakat ataupun negara bukan pula pemberian hukum positif yang berlaku, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Oleh karena itu, hak asasi tersebut melekat secara langgeng dan tidak bisa dihilangkan begitu saja oleh negara meskipun dengan alasan penegakan hukum. Tidak jarang kita menjumpai adanya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh APH seperti penetapan tersangka dan penahanan yang justru berujung pada upaya praperadilan yang dilakukan tersangka ataupun oleh kuasanya.


Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta adanya perlakuan yang sama di hadapan hukum (equality before the law). Pemaknaan yang luas terhadap kepastian hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum menunjukkan bahwa dalam hal apapun, hukum sebagai “payung perlindungan” dan koridor dalam setiap langkah penegakan hukum harus benar-benar dilakukan untuk melindungi HAM setiap orang tanpa adanya diskriminasi. 


Konsideran menimbang huruf b UU No.39/1999 tentang HAM menyebutkan: “bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun”. Pasal 17 UU No.39/1999 tentang HAM menyebutkan dengan tegas: “setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar”. Selanjutya, Pasal Pasal 18 ayat (1) UU No.39/1999 tentang HAM juga menyebutkan: “setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”. Oleh karena itu, adanya praperadilan disamping memperjuangkan HAM, juga memastikan apakah proses penanganan perkara yang dilakukan oleh penyidik ataupun penuntut umum tidak ada pelanggaran hukum yang mengarah kepada pelanggaran HAM serta dalam situasi dan kondisi apapun, HAM tersebut tidak boleh dihilangkan meskipun bagi pribadi tersangka.


Dinamika Praperadilan dan Hubungan PH-APH 


Praperadilan yang memenangkan tersangka dari jeratan hukum di tingkat penyidikan maupun penuntutan adalah fakta empiris yang tidak bisa kita pungkiri bahwa memang telah terjadi proses tidak profesional dilakukan oleh penyidik ataupun penuntut umum yang melanggar ketentuan hukum formil. Meskipun, kita semua juga menjumpai praperadilan justru memenangkan termohon karena berdasarkan pemeriksaan praperadilan oleh hakim tunggal tidak dapat dibuktikan adanya pelanggaran hukum formil yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum. Meskipun dinamika menang-kalah dalam proses praperadilan adalah hal yang wajar, tentu kita semua sama-sama berkomitmen menjadikan praperadilan ini sebagai lembaga untuk menguji kebenaran dan objektifitas penanganan perkara terhadap pelaku tindak pidana. Intinya, APH tidak perlu merasa terganggu dan diganggu dengan adanya praperadilan. Sebaliknya, PH harus tetap berhubungan baik dengan APH sebagai sesama penegak hukum yang sama-sama berpegang teguh pada asas profesionalisme dan asas kebebasan masing-masing, dan yang terlebih lagi bahwa HAM yang dimiliki oleh semua orang harus dibela, dilindungi, dan dijunjung tinggi. (*)


*Advokat dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Madura (UIM) Pamekasan;

Pengurus DPD MAHUPIKI Jawa Timur Periode 2022-2027.

Bagikan:

Komentar