|
Menu Close Menu

Ayat-ayat Merdeka; Telaah Tafsir Imam Muhammad Ibn ‘Asyur

Kamis, 17 Agustus 2023 | 22.34 WIB




Oleh; Jakfar Shodik


Lensajatim.id, Opini- Hari ini, kamis tanggal 17 Agustus 2023, gegap gempita perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia. Berbagai lomba hingar bingar, serta doa dan upacara digelar. Masyarakat Indonesia berbagi kebahagiaan, pekik merdeka berkumandang dari perkotaan hingga pedesaan. Sebab dibulan ini, momentum melepaskan diri dari penjajah dianggap sudah “berakhir”. Penulis sengaja memberi tanda kutip pada diksi tersebut, mengingat perdebatan arti merdeka pasti mengemuka. 


Tulisan ini tidak bermaksud untuk mengupas pengertian merdeka das sein, karena pada kenyataannya memang kemerdekaan saat ini dalam beberapa aspek hanya slogan dan euforia semata. Tidak sulit menemukan argumentasi dari beberapa pakar dalam kaitan hal tersebut, jejeran fakta dan data tersebar luas. Hal itu juga dipertegas dalam UUD 1945 alinea kedua, bahwa Pendiri bangsa ini telah mengantar sampai kepada pintu gerbang kemerdekaan. 


Dalam bahasa arab kemerdekaan dikenal dengan dua istilah, Pertama al-Istiqlāl (الاستقلال) yang memiliki arti kemerdekaan. Maka hari kemerdekaan disebut dengan Id al-Istiqlāl (عيد الاستقلال) dengan makna independensi atau mandiri (تفرد به ولم يشرك فيه). Kedua Al-hurriyyah (الحرية) dengan makna kebebasan (إبطال الرق والعبودية). Kedua diksi ini sering digunakan sebagai pilihan dalam acara-acara resmi kenegaraan, kajian ilmiah dan lain sebagainya. 


Walaupun makna diatas tidak jauh berbeda, akan tetapi penggunaan istilah yang terakhir lebih sering digunakan khususnya dibidang keilmuan. Dalam ilmu Fiqih klasik misalnya, kita kenal dengan bab budak sebagai lawan (مفهوم المخالفة) merdeka. Pembahasan mengenai perbudakan ini cukup panjang, walaupun sering dalam kajiannya sangat jarang sekali didalami. Bab Qin, Mukatab, Maba’adl, al-‘Itqu, Mudabbar, Ummu Walad dan lain sebagainya, adalah bukti bahwa Islam sangat concern terhadap kemerdekaan. 


Merdeka Perspektif Ibnu ‘Asyur


Deskripsi yang sangat detail pada masing-masing bab tersebut, adalah semangat Islam dalam menghilangkan perbudakan: bebas dari segala bentuk ikatan atau penguasaan pihak lain “al-Taharruru wa al-Khalāshu min al-Qaydi wa al-Saytharah al-Ajnabiyyah” (التحرر والخلاص من القيد والسيطرة الاجنبية). Dalam bahasa yang berbeda, kebebasan atau kemerdekaan merujuk pada bentuk manifestasi kedirian tanpa intervensi pihak lain (القدرة على تنفيذ مع عدم القسر والعنف من الخارج).


Bebas dan kebebasan (baca-pembebasan) disinilah yang terkadang memunculkan bentuk tafsir yang salah kaprah, sinisme terhadap makna tersebut selalu terasosiasi barat an sich. Tidak mengherankan jika dalam teks-teks klasik kajian tentang kebebasan dan atau kemerdekaan mempunyai tempat yang terhormat. Bukti sahih tersebut bisa kita temui dalam tafsir alqur’an yang dikemukakan para mufassir lebih sering merujuk pada istilah kedua dibanding pilihan pertama: al-Istiqlāl. 


Dalam pandangan Imam Ibnu ‘Asyur (nama lengkapnya Muhammad at-Tahir bin Muhammmad bin Muhammad Tahir  bin Muhammad bin Muhammad Syazili bin ‘Abd al-Qadir bin Muhammad bin ‘Asyur, ulama tafsir kelahiran Tunisia, lahir 1296 H, wafat 1393 H) misalnya, padanan kata tersebut digunakan dalam kajiannya. Kemerdekaan dan kebebasan dalam islam selalu berkelindan dalam tarikan nafas yang sama (مقاصد الشريعة الاسلامية, مكتبة الاستقامة, Tunisia, 1366 H).


Diantaranya: kebebasan berkeyakinan (حرية الاعتقاد), kebebasan bekerja (حرية الاعمال), kebebasan bersuara atau berpendapat (حرية الاقوال) dan terakhir kebebasan dalam belajar, mengajar dan berkreasi (حرية العلم والتعليم والتاءليف). Keempat perspektif inilah yang jadikan oleh beliau dalam menganalisa dan menafsirkan ayat-ayat al-qur’an. Sehingga walaupun didalam Alquran, ayat yang merujuk pada arti kemerdekaan tidak diungkap secara denotatif. Akan tetapi secara implisit, kandungan makna Merdeka bisa kita urai.


Pertama, perjalanan kisah kemerdekaan perjalanan spiritual Nabi Ibrahim as. dalam pencarian ketauhidan Allah (QS al-An’am ayat 76-79). Kedua, perjuangan Nabi Musa as. dalam merebut kemerdekaan dari raja tiran Fir’aun (QS al-Baqarah: 49, al-A’raf: 127, dan Ibrahim: 6). Ketiga, kisah sukses dan keberhasilan Rasululloh dalam memerdekakan Masyarakat Arab jahiliyah dalam tiga penjajahan sekaligus. Penindasan ekonomi (QS. Al-Humazah: 1-4), disorientasi hidup (QS. Luqman: 13), dan kezaliman sosial (QS. Al-Hujurat: 13).


Demikian pula pesan yang bisa kita jadikan rujukan penguat dari tafsir Imam Ibnu ‘Asyur pada peristiwa haji Wada’, disaat Rosululloh memaklumatkan dalam sabda terakhirnya :

"أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ إِلَى أَنْ تَلْقَوْا رَبَّكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هذَا فِيْ شَهْرِكُمْ هذَا فِيْ بِلَدِكُمْ هذَا"

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya darah dan hartamu haram bagimu satu dengan yang lain kecuali dengan jalan yang sah, sampai kamu sekalian berjumpa dengan Allah, sebagaimana keharaman atasmu pada harimu ini, pada bulanmu ini, dan di negerimu ini” (HR. Bukhari).


Jika kita telaah atas perspektif diatas, kemerdekaan yang kita dengung-dengungkan saat ini apakah sudah benar terjadi?. Atau kita terjebak dalam pemaknaan Merdeka yang sederhana dan formalistik?. Jangan-jangan kemerdekaan kita masih dalam tahap kemerdekaan palsu (شبح الحرية)?.

Wallahu a’lam Bis-Shawab.

Merdeka!


(* Penulis adalah Ketua Yayasan Pondok Pesantren Darul Utsmaniyah Surabaya 


Bagikan:

Komentar