|
Menu Close Menu

Era Artificial Intelligence: Tiga Jenis Penulis dan Teror Mental Putu Wijaya

Sabtu, 06 Juli 2024 | 06.08 WIB



Oleh : Denny JA


- Sekapur Sirih


Lensajatim.id, Opini- “Persoalan dengan Artificial Intelligence bukanlah kecerdasan ini akan menggantikan manusia. Ia hadir justru menjadi alat bantu agar kita menjadi versi yang lebih baik daripada homo sapiens saat ini.”


Pernyataan dari Fei-Fei Li ini yang teringat, ketika saya menyaksikan Putu Wijaya. Bulan Desember 2023, di atas panggung, dari kursi rodanya, dalam acara SATUPENA, dibantu dua orang asisten di kanan dan di kiri, di akhir pementasannya, Putu berdiri, dan memekik sepenuh tenaga: 


Hidup manusia! Hidup manusia!


Hadirin riuh rendah bertepuk tangan. Penonton terkesima bukan saja pada semangat Putu Wijaya yang melampaui fisiknya.


Tetapi juga karena hadirin merasakan percikan api keyakinan Putu Wijaya pada kemampuan manusia.


Ketika turun dari panggung, Putu Wijaya bercerita membisik kepada saya. Ia terpana dan shock mendengar pidato saya (Denny JA). Selaku ketua umum Satupena, Perkumpulan Penulis Indonesia, saya memberi sambutan mengenai perkembangan mutakhir.


Dalam orasi itu saya katakan, betapa sekarang ini, Artificial Intelligence bukan saja sudah bisa menulis buku sendiri. Tapi beberapa buku yang ditulis Artificial Intelligence sudah pula mencapai Best Seller di toko buku online terbesar Amazon.com.


Orasi saya itu menggelisahkannya. Melalui WA di japri, lewat istrinya, Putu ulangi lagi kesannya. Saya cuplik teks itu dan saya edit redaksinya agar lebih mudah dibaca:


(Putu sudah 60 tahun menulis baik drama, cerpen, novel, skenario film dalam rangka teror mental.


“Putu tergugah/terinspirasi oleh testimoni Pak Denny JA yang menyatakan AI sudah mampu menulis fiksi, bahkan yang best seller."


Putu Wijaya sudah mulai menulis karya-karya Teror Mental sejak 60 tahun yang lalu. Ia tidak mengandalkan bantuan data-data, tetapi mengeksplorasi “rasa.”


Kehadiran AI mungkin sekali bisa merampas dapur para penulis Indonesia. Putu perlu mengingatkan mereka bahwa anugerah “rasa” dari-Nya bersama dengan seluruh latar belakang adat istiadat dan kearifan lokal penulis Indonesia, adalah kekayaan yang luar biasa. 


“Ini bukan untuk menolak AI, tapi untuk bersparring partner.”


Demikian tulis Putu Wijaya melalui HP istrinya.


Teror mental memang semboyan yang diciptakan Putu Wijaya sendiri, sejak tahun 1970-an. Ini menggambarkan gaya penulisannya yang khas dan menantang. 


Istilah ini mengacu pada teknik menulis yang bertujuan untuk mengguncang pembaca secara psikologis. Ia memaksa mereka untuk merenungkan aspek-aspek mendasar dari kehidupan hingga ke akar eksistensial.


Dalam karya-karyanya, Putu sering menggunakan kejutan, ketegangan, dan perasaan tidak nyaman untuk menciptakan efek yang mendalam dan provokatif.


Putu Wijaya percaya seni harus mampu mengguncang kesadaran pembaca. Seni perlu membuat mereka keluar dari zona nyaman, dan memikirkan kembali asumsi dan keyakinan mereka.


Teror mental digunakan untuk mengangkat isu-isu eksistensial, sosial, politik, dan kemanusiaan dengan cara yang langsung dan sering kali mengejutkan.


Tapi kini giliran Putu Wijaya yang terteror dengan kehadiran Artificial Intelligence.


Karena Artificial Intelligence, kini lahirlah tiga jenis penulis yang berbeda, masing-masing dengan pendekatan unik terhadap seni menulis.


Pertama, penulis Pola Lama. Mereka adalah penjaga tradisi. Mereka mengukir kata-kata dengan penuh hati. Meyakini bahwa kedalaman emosional dan orisinalitas hanya dapat dicapai melalui usaha pribadi. Tanpa intervensi teknologi.


Bagi mereka, menulis adalah perjalanan batin. Ini melibatkan refleksi mendalam, observasi tajam, dan interaksi langsung dengan dunia sekitar. Setiap kata adalah cerminan jiwa, setiap kalimat adalah tarian pikiran.


Keunikan mereka terletak pada orisinalitas dan keaslian karya. Nuansa emosional dan filosofi yang kaya mengisi tulisan mereka. Menulis bagi mereka adalah seni murni. Sebuah simfoni yang dimainkan dengan penuh perasaan dan ketelitian.


Penulis jenis ini tak menggunakan Artificial Intelligence sama sekali, bahkan memandang negatif AI dalam berkarya.


Kedua, di sisi lain spektrum, ada penulis AI Sepenuhnya. Mereka adalah pionir di dunia literatur digital. Mereka memanfaatkan  kekuatan AI untuk menciptakan karya mereka.


Dengan alat seperti GPT-3, mereka dapat menghasilkan teks dengan cepat dan efisien. Mereka menciptakan cerita yang kompleks dan menarik dalam waktu yang relatif singkat.


Penulis AI sepenuhnya percaya teknologi dapat membuka peluang baru. Inovasi dalam cara bercerita menjadi fokus mereka.


Mereka menggunakan AI untuk eksplorasi naratif. Plot twist yang tak terduga dan karakter yang kaya dan dinamis menjadi hasil karya mereka.


Namun, tantangan utama mereka adalah menjaga orisinalitas. Juga mereka perlu memastikan karya mereka tidak kehilangan sentuhan manusia.


Ketiga, penulis dengan Asisten AI berada di antara dua ekstrem ini. Mereka memanfaatkan AI sebagai alat bantu untuk meningkatkan kreativitas dan produktivitas mereka.


AI digunakan untuk menghasilkan ide, mengedit teks, dan memberikan saran naratif. Penulis tetap memegang kendali penuh atas proses kreatif dan keputusan akhir.


Jenis penulis ini percaya bahwa AI adalah alat berharga yang dapat memperkaya karya mereka. Mereka tidak mengorbankan orisinalitas.


Mereka melihat AI sebagai partner kreatif. AI dapat menginspirasi dan membantu, tetapi esensi dari sebuah karya sastra tetap pada sentuhan manusia.


Penulis dengan Asisten AI kemungkinan besar akan bertambah banyak dan bertambah baik. Mengapa?


Mereka memanfaatkan yang terbaik dari dua dunia: kecanggihan teknologi dan kedalaman emosional manusia.


Dengan menggunakan AI sebagai alat bantu, mereka dapat mengatasi batasan waktu dan energi. Kesalahan teknis dapat dikurangi. Inspirasi baru ditemukan, yang mungkin tidak terpikirkan sebelumnya.


AI dapat membantu dalam riset, analisis data, dan memberikan umpan balik yang berharga. Ini memungkinkan penulis untuk fokus pada aspek kreatif dan artistik dari menulis.


Kolaborasi antara manusia dan mesin menciptakan ruang untuk inovasi yang lebih besar. Penulis dapat mengeksplorasi berbagai gaya dan genre. Eksperimen dengan struktur naratif baru menghasilkan karya yang lebih kompleks dan multifaset.


Dalam dunia yang semakin kompetitif, kemampuan untuk menghasilkan karya berkualitas tinggi dengan efisiensi yang lebih baik dengan menggunakan AI menjadi keuntungan signifikan.


Artificial Intelligence dapat membantu penulis dengan banyak cara.


AI dapat menghasilkan ide-ide segar yang membantu penulis mengatasi kebuntuan kreatif. Algoritma pembelajaran mesin menawarkan berbagai skenario cerita, karakter, dan plot twist yang belum pernah terpikirkan sebelumnya.


AI dapat menjadi sumber inspirasi yang tak ada habisnya. Seperti mata air yang terus mengalir, memberikan kesegaran pada tanah tandus imajinasi.


AI juga dapat membantu dalam mengoreksi tata bahasa, ejaan, dan gaya penulisan. Alat seperti Grammarly dan Hemingway Editor memastikan bahwa teks bebas dari kesalahan teknis dan lebih mudah dibaca.


Kemampuan ini tidak hanya menghemat waktu, tetapi juga meningkatkan kualitas tulisan. Penulis dapat fokus pada aspek kreatif, sementara AI menangani detail teknis, memastikan bahwa karya mereka bersih dan profesional.


AI dapat menganalisis sentimen dalam teks untuk memastikan bahwa narasi dan dialog menyampaikan perasaan yang tepat. Ini membantu penulis menciptakan karakter dan situasi yang lebih mendalam dan realistis.


Dengan analisis sentimen, penulis dapat mengevaluasi apakah emosi dalam cerita tersampaikan dengan benar. Ini memberikan umpan balik yang berharga untuk memperbaiki dan menyempurnakan narasi.


AI juga dapat menyesuaikan konten agar sesuai dengan preferensi individu pembaca. Dengan analisis data, AI membantu penulis memahami audiens target mereka dan menyesuaikan karya mereka agar lebih relevan dan menarik.


Personalisasi ini memungkinkan penulis untuk menciptakan karya yang lebih terhubung dengan pembaca. Kepuasan dan keterlibatan pembaca meningkat. Ini membuka pintu bagi penulis untuk membangun hubungan yang lebih intim dengan audiens mereka.


AI dapat berfungsi sebagai kolaborator kreatif yang memberikan saran mengenai plot, karakter, dan dialog. Ini memungkinkan penulis untuk mengeksplorasi berbagai kemungkinan dan perspektif dalam karya mereka.


Kolaborasi ini memperkaya proses kreatif. Penulis dapat melihat ide dari sudut pandang yang berbeda. AI tidak menggantikan kreativitas manusia, tetapi memperluasnya. Seperti sayap yang membantu burung terbang lebih tinggi.


AI sebagai asisten penulis adalah angin baru dalam dunia literatur, membawa harapan dan kemungkinan tanpa batas. 


Dalam simfoni kreatif ini, AI adalah salah satu instrumen yang memperkaya harmoni tulisan. Penulis tetaplah konduktor yang menentukan nada dan irama.


Dengan memanfaatkan kekuatan AI, penulis dapat menjelajahi kedalaman imajinasi mereka. Mereka menciptakan karya yang tidak hanya cerdas tetapi juga penuh dengan jiwa. 


Seperti  pelaut yang menemukan bintang baru untuk memandu perjalanannya, penulis dengan AI di sisi mereka akan menemukan jalan baru menuju cakrawala kreativitas.


Penulis bersama asisten AI dapat mengekspresikan kisah yang abadi. Kisah yang menghubungkan gagasan dan emosi, dengan benang kata-kata yang dibantu teknologi sangat cerdas.


Putu Wijaya berseru di panggung Satupena: Hidup Manusia!, Hidup Manusia!


Saya ikut bertepuk tangan. Mengamini. Bersepakat. Juga berharap. Artificial Intelligence memang hebat dan akan terus semakin hebat berlipat-lipat. Tapi tetap lebih hebat manusia yang mampu menjadikan Artificial Intelligence sebagai asistennya belaka.


*Penulis adalah Konsultan Politik, Founder LSI-Denny JA, Penggagas Puisi Esai, Sastrawan, Ketua Umum Satupena, dan Penulis Buku.

Bagikan:

Komentar