Presiden RI, Prabowo Subianto. (Dok/Istimewa). |
Oleh Moch Eksan
Lensajatim.id, Opini- Dalam berbagai kesempatan, Presiden Prabowo Subianto mengulang-ngulang visi misi pemerintah untuk mewujudkan swasembada pangan. Suatu kondisi dimana negara punya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan sendiri tanpa bergantung pada pasokan pangan dari luar negeri.
Tak ada satupun negara di dunia ini yang tak ingin swasembada pangan. Semua punya cita-cita yang sama. Cuma, yang berbeda kemampuan masing-masing negara. Tergantung pada hasil produksi pangan berdasarkan luas lahan, teknologi, kebutuhan pangan nasional, serta pola makan penduduk.
Indonesia punya kenangan yang indah menyangkut swasembada pangan. Presiden Soeharto pernah diundang oleh Direktur Jenderal Food and Agriculture Organization (FAO) pada 14 Nopember 1985, di Roma Italia, untuk menyampaikan pidato tentang keberhasilan Indonesia mencapai swasembada pangan.
Pada waktu bersamaan, mertua Prabowo ini juga atas nama bangsa Indonesia menyerahkan bantuan 100 ribu ton pada sejumlah negara di Afrika yang dilanda kelaparan.
Sayangnya, swasembada pangan ini tak berlangsung lama. Hanya empat tahun saja sejak 1984-1988. Setelah itu, produksi pangan terus menurun akibat perubahan iklim dan alih fungsi lahan.
Karena itu, swasembada pangan sejatinya merupakan romantisme Orde Baru. Sebuah capaian prestisius pemerintah Soeharto dapat memenuhi kebutuhan pangan nasional. Ini hasil dari efektifitas program intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian.
Setelah itu, pemerintah Indonesia belum pernah mencapai swasembada pangan kembali. Kecuali pada 2019-2021, pemerintahan Presiden Jokowi meraih penghargaan, "Acknowledgment for Achieving Agri-food System Resiliency and Rice Self-Sufficiency during 2019-2021 through the Application of Rice Innovation Technology (Penghargaan Sistem Pertanian-Pangan Tangguh dan Swasembada Beras Tahun 2019-2021 melalui Penggunaan Teknologi Inovasi Padi)".
Penghargaan tersebut berasal dari International Rice Research Institute (IRRI). Direktur Jenderal, Jean Balie yang menyerahkan langsung penghargaan dari Institut Penelitian Padi Internasional itu kepada Jokowi pada 14 Agustus 2022 di Istana Negara.
Swasembada pangan di era dua presiden tersebut lebih pada swasembada beras. Sebab, komoditas pangan yang lain, Indonesia masih impor dari negara-negara lain. Padahal, negeri ini adalah negara agraris, yang memiliki sumber daya pangan yang melimpah, namun belum dapat memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri sendiri.
Sampai dengan saat ini, nyaris setiap tahun pemerintah mendatangkan beras dari Thailand, Vietnam, Pakistan dan Myanmar. Dan angka importasi beras yang tertinggi justru pada 2023 sebanyak 3,06 juta ton.
Padahal, upaya pemerintah sudah tak kurang-kurang. Bahkan, Kemenhan di bawah kepemimpinan Probowo turut serta menjadi leading sektor dalam membangun food estate atau lumbung pangan.
Kemenhan mengembangkan food estate di Gunung Mas Kalimatan Tengah. Namun begitu, hasil produksi jagung yang ditanamnya kurang maksimal. Demikian pula dengan pengembangan food estate di berbagai daerah lain kurang berhasil pula.
Adalah wajar bila Prabowo menjadi sasaran kritik dan kecaman atas sejumlah kerusakan lingkungan, kerterlantaran lahan, dan gagal panen. Ini konsekuensi logis sebagai bagian dari pemerintahan Jokowi dan penerus pembanguan rezim sebelumnya.
Prabowo nampak tak bergeming untuk mewujudkan program strategis ketahanan pangan demi ketersediaan cadangan pangan yang cukup guna memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Malah ia menargetkan realisasi program ini antara 4-5 tahun kedepan.
Untuk itu, Kemenhan telah mendapat ijin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di era Siti Nurbaya Bakar, sejak 12 Juli 2024, untuk membuka hutan di Merauke Papua Selatan. Pembukaan hutan ini dimaksudkan mencetak 1 juta hektar sawah baru sebagai pembanguan sarana dan prasarana ketahanan pangan.
Prabowo pasang badan atas berbagai protes dan resistensi dari aktivis lingkungan dan masyarakat adat. Bahwa pembukaan hutan merusak Taman Nasional, suaka margasatwa dan cagar alam di bumi Cendrawasih.
Diaku maupun tidak, program swasembada pangan ini yang paling kritikal. Namun, untuk menutupi target produksi pangan nasional, pencetakan sawah baru tak bisa dihindari. Apalagi, Prabowo berkeinginan menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia.
Obsesi Prabowo di atas harus bersaing dengan negara produsen beras dunia, seperti Tiongkok (147 juta ton), India (124 juta ton), Bangladesh (35,6 juta ton). Indonesia sebenarnya menduduki peringkat keempat negara produsen beras terbesar di dunia dengan produksi tak kurang dari 34 juta ton.
Yang paling menarik, ternyata beberapa negara produsen beras justru belajar dari kebijakan pertanian Soeharto melalui pembangunan infrastruktur pertanian, mulai dari pembangunan waduk, bendungan sampai pembangunan irigasi.
Prabowo menjadi saksi mata dan saksi pelaku dari cerita sukses Seoharto dan Jokowi dari swasembada pangan. Barangtentu, program ini dilihat publik dari dua perspektif antara romantisme dan optimisme. Mana yang paling benar? Biarlah sejarah yang menjawabnya.
Moch Eksan adalah Pendiri Eksan Institute dan Penulis Buku "Kerikil Dibalik Sepatu Anies".
Komentar