![]() |
Puguh Wiji Pamungkas, Anggota Komisi E DPRD Jatim saat menjadi narasumber dalam acara seminar di Universitas Gajayana (Uniga) Malang. (Dok/Istimewa). |
Dalam paparannya, Puguh menyampaikan bahwa tantangan utama menuju 100 tahun kemerdekaan Indonesia adalah memastikan bonus demografi benar-benar menjadi peluang, bukan ancaman. Kuncinya, kata dia, adalah memperkuat sinergi dunia pendidikan untuk mencetak generasi unggul.
“Anak-anak muda saat ini adalah iron stock bangsa. Kalau kita ingin masa depan yang lebih baik, maka kapasitas mereka harus diperluas sedari sekarang,” ujarnya.
Ia menyoroti sejumlah tantangan pendidikan di Jawa Timur, seperti kesenjangan kualitas antarwilayah, keterbatasan fasilitas, serta kurangnya akses bagi kelompok marginal. Untuk itu, Puguh mengapresiasi komitmen Pemprov Jatim dan DPRD yang setiap tahunnya mengalokasikan lebih dari Rp1 triliun melalui skema BPUPP untuk memperkuat anggaran sekolah, baik negeri maupun swasta.
Acara yang dibuka oleh Rektor Uniga, Prof. Dr. Ernani Hadiyati, S.E., M.S., serta dihadiri oleh Prof. Dyah Sawitri, S.E., M.M., Ketua LLDIKTI Wilayah VII Jawa Timur, semakin menyentuh ketika sesi diskusi terbuka menghadirkan suara dari kalangan difabel.
Seorang peserta bernama Akib, yang merupakan penyandang disabilitas, mengungkapkan kesulitan yang dihadapi teman-temannya dalam mengakses pendidikan tinggi. Ia menyuarakan harapan agar difabel tidak terus berada di pinggiran pembangunan.
Puguh merespons langsung dengan menjelaskan adanya program beasiswa KIP Kuliah dari pemerintah pusat. Namun momen mengharukan tercipta saat pihak kampus secara spontan mengumumkan bahwa Akib akan mendapat beasiswa penuh hingga lulus kuliah di Uniga.
“Inilah bentuk nyata dari inklusivitas. Tidak cukup kita bicara soal cita-cita besar jika tidak membuka ruang untuk semua,” ujar Puguh, yang disambut tepuk tangan meriah dari peserta.
Air mata haru mewarnai suasana saat Akib menerima keputusan tersebut dengan penuh rasa syukur. Momen itu menjadi simbol bahwa pendidikan bisa menjadi jembatan harapan, bahkan bagi mereka yang kerap terabaikan.
Seminar ini pun menjadi lebih dari sekadar forum akademik. Ia menjadi cermin semangat kolektif untuk membangun masa depan Indonesia yang lebih adil dan merata.
“Indonesia Emas tidak akan hadir hanya dari hitungan statistik. Ia lahir dari keberanian membuka ruang bagi semua anak bangsa untuk tumbuh dan berkontribusi,” tutup Puguh. (Had)
Komentar