Oleh: Alifiya Luthfa Ramadhani
(Penulis adalah Fakultas S1 Keperawatan, Universitas Airlangga Surabaya)
"Pendidikan tanpa moralitas hanya akan melahirkan orang-orang pintar yang tak tahu arah.”
Lensajatim.id, Opini- Di tengah gemuruh perubahan zaman, menjadi mahasiswa bukan hanya soal pencapaian akademik, tetapi juga tentang tanggung jawab etik yang melekat pada identitas intelektual. Di balik gelar mahasiswa baru, tersemat harapan besar: bukan hanya sebagai calon profesional, tetapi juga sebagai insan bermoral unggul — Excellent Morality. Sebuah prinsip yang tidak hanya untuk dipelajari, tetapi juga dihidupi.
Dari Kampus ke Kompas Etik
Memasuki dunia perkuliahan ibarat pelaut muda yang baru saja naik ke kapal besar bernama kampus. Lautnya luas, arah angin berubah-ubah, dan tantangannya tak selalu tampak di permukaan. Dalam perjalanan ini, kompas etik menjadi bekal mendasar agar tidak terombang-ambing dalam pusaran pragmatisme dan hedonisme yang sering kali menyamar sebagai kebebasan.
Namun, apakah setiap mahasiswa telah memiliki kompas itu? Ataukah kita justru terlena pada bayang-bayang “kebebasan” kampus yang tanpa sadar menjauhkan kita dari nilai-nilai luhur?
Pertanyaan ini penting karena, sebagaimana dikatakan filsuf Immanuel Kant, “Moralitas bukan hanya soal mengikuti peraturan, tetapi tentang kesadaran untuk selalu bertindak seolah tindakan kita menjadi hukum universal.” Mahasiswa adalah subjek moral dengan kapasitas reflektif untuk menentukan sikap. Maka, excellent morality harus menjadi fondasi karakter sejak awal.
Moralitas: Antara Ideal dan Realitas
Pendidikan tinggi kerap dianggap sebagai kawah candradimuka pembentukan insan cendekia. Namun, kenyataannya, banyak mahasiswa terjebak pada formalisme akademik — mengejar IPK tinggi, gelar, atau status sosial — tanpa disertai kesadaran etis dalam perilaku sehari-hari.
Fenomena plagiarisme, manipulasi data penelitian, intoleransi, bahkan pelecehan di lingkungan kampus menjadi bukti bahwa moralitas tidak otomatis tumbuh seiring naiknya jenjang pendidikan. Dalam konteks ini, penting mengingat kembali gagasan Ki Hadjar Dewantara bahwa pendidikan sejati adalah yang mampu menuntun segala kekuatan kodrat anak agar menjadi manusia dan anggota masyarakat yang mencapai keselamatan serta kebahagiaan setinggi-tingginya. Tanpa nilai-nilai moral, pendidikan kehilangan arah.
Mahasiswa baru harus memahami bahwa moralitas bukan semata urusan agama, tetapi juga soal keadaban sosial. Kejujuran, penghargaan terhadap perbedaan, keadilan, dan empati adalah bagian dari praktik moral sehari-hari yang menentukan kualitas kepribadian. Moralitas tidak bisa ditunda untuk dipelajari nanti-nanti — ia harus dirawat sejak langkah pertama di kampus.
Etika dalam Ruang Publik Mahasiswa
Kampus adalah ruang publik tempat ide, kritik, dan perbedaan bertemu. Di sinilah mahasiswa diuji: apakah mampu bersuara tanpa merendahkan, menyampaikan kritik tanpa mencederai, dan menuntut keadilan tanpa melupakan adab?
Franz Magnis-Suseno dalam Etika Dasar menegaskan bahwa etika bukan sekadar tata krama, melainkan kemampuan mengambil sikap secara sadar dan bertanggung jawab. Hal ini penting, khususnya bagi mahasiswa baru yang sedang membentuk “identitas intelektual”-nya. Keberanian bersuara harus diimbangi dengan kedewasaan berpikir.
Media sosial, misalnya, menjadi ruang baru etika mahasiswa. Cuitan, unggahan, dan komentar mencerminkan integritas diri. Mahasiswa harus sadar bahwa setiap ekspresi membawa nama institusi, keluarga, dan bangsa. Maka, excellent morality bukan hanya jargon, tetapi panduan praktis: apa yang layak diucapkan, kapan diam lebih bijak, dan bagaimana menjaga adab di ruang digital tanpa kehilangan otentisitas.
Moral Unggul sebagai Gerakan Kritis
Sejarah membuktikan bahwa mahasiswa adalah agen perubahan. Reformasi 1998, gerakan anti-kolonial, hingga perjuangan HAM tak lepas dari peran mahasiswa. Namun, perjuangan semacam itu tidak cukup hanya mengandalkan nalar kritis; ia juga memerlukan integritas moral.
Excellent morality bukan hanya soal moralitas individual, tetapi juga tanggung jawab sosial. Mahasiswa harus sadar bahwa dirinya bagian dari sistem sosial yang lebih besar, sehingga perlu menyuarakan nilai kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan dalam setiap tindakan.
Paulo Freire mengingatkan bahwa pendidikan harus membebaskan manusia dari penindasan. Karena itu, mahasiswa tidak cukup hanya “bermoral baik”, tetapi harus berani bermoral kritis. Moralitas dalam hal ini menjadi alat emansipasi, bukan sekadar instrumen disiplin.
Penutup: Menyulam Moralitas dalam Kehidupan Kampus
Menjadi mahasiswa baru adalah awal perjalanan panjang. Langkah pertama selalu menentukan arah. Jika sejak awal excellent morality dijadikan prinsip hidup, masa depan akan diisi oleh insan-insan yang tidak hanya cerdas, tetapi juga beradab.
Pada akhirnya, dunia tidak hanya membutuhkan orang pintar, tetapi juga orang yang tahu bagaimana bersikap. Dan itu dimulai dari kita — dari sekarang.
---
Daftar Referensi
1. Dewantara, Ki Hadjar. Pendidikan: Pengaruh dan Arah Hidup. Taman Siswa, 1930.
2. Kant, Immanuel. Groundwork of the Metaphysics of Morals. 1785.
3. Freire, Paulo. Pedagogy of the Oppressed. Continuum, 1970.
4. Magnis-Suseno, Franz. Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Kanisius, 1987.
5. UNESCO. Rethinking Education: Towards a Global Common Good? UNESCO Publishing, 2015.
Komentar