![]() |
| Ning Lia Istifhama, Anggota DPD sekaligus Anggota BP MPR RI dalam acara FGD Kelompok 1 BP MPR di Surabaya.(Dok/Istimewa). |
Kegiatan tersebut dihadiri sejumlah tokoh BP MPR, di antaranya Prof. Yasonna H. Laoly, I Gusti Ngurah Kesuma Kelakan, Denty Eka Widi Pratiwi, Guntur Sasono, Jupri Mahmud, Hasan Basri Agus, Ahmad Basarah, Andreas Hugo Pareira, Lia Istifhama, serta Heri Gunawan. Tiga akademisi turut hadir sebagai narasumber, yakni Suko Widodo, Airlangga Pribadi Kusuma, dan Indah Dwi Qurbana.
Ketua Kelompok I BP MPR sekaligus Ketua Badan Pengkajian MPR, Prof. Dr. Yasonna H. Laoly, menegaskan bahwa pemahaman atas kedaulatan rakyat harus dikaji secara mendalam, khususnya dalam konteks perkembangan sistem ketatanegaraan pasca empat kali perubahan UUD 1945.
“Kami telah menampung banyak pemikiran soal Pancasila, khususnya sila kedua dan keempat, dan bagaimana kedaulatan rakyat sejatinya tercermin di dalamnya,” ungkap Yasonna.
Ia juga menyinggung putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pemilihan kepala daerah serta perkembangan praktik demokrasi yang memunculkan kebutuhan evaluasi sistem ketatanegaraan Indonesia. Yasonna menyebut kajian akademik menjadi landasan penting untuk memperkaya pemikiran MPR.
Dalam pemaparannya, narasumber Airlangga Pribadi menyoroti pentingnya etika politik kerakyatan sebagai karakter demokrasi Indonesia sejak era BPUPKI. Etika tersebut dinilai mampu menghindarkan negara dari konsentrasi kekuasaan pada kelompok tertentu yang berpotensi memunculkan oligarki.
“Demokrasi modern kerap diwarnai kecenderungan konsentrasi kekuasaan. Etika kerakyatan menjadi benteng untuk menjaga demokrasi tetap sehat,” kata Airlangga.
Para narasumber juga menekankan pentingnya etika lingkungan dalam demokrasi Pancasila. Pembangunan, menurut mereka, tidak lagi cukup diukur dari tingkat pertumbuhan ekonomi, tetapi harus memperhatikan kelestarian lingkungan, pemerataan pembangunan, serta keselamatan masyarakat dari dampak perubahan iklim.
FGD juga membahas isu strategis seperti kesetaraan gender, perlindungan pekerja rumah tangga, penghargaan terhadap keberagaman, dan partisipasi publik yang lebih luas. Suko Widodo menyebut partisipasi rakyat adalah filter demokrasi, bukan hanya dalam pemilu, tetapi juga dalam proses pengawasan kebijakan.
Indah Dwi Qurbana menambahkan bahwa mekanisme check and balance penting diperkuat agar keseimbangan kekuasaan tetap terjaga. Menurutnya, demokrasi tidak boleh berhenti pada prosedural, tetapi harus menjamin keadilan sosial.
Sementara itu, Anggota DPD sekaligus Anggota BP MPR RI, Lia Istifhama, menyoroti perkembangan digital yang membawa peluang baru bagi demokrasi, seperti e-consultation dan e-referendum. Namun ia mengingatkan potensi disrupsi ruang digital yang dapat melemahkan demokrasi substantif jika tidak dikelola dengan bijak.
Ning Lia juga menekankan pentingnya Human Trust (H-Trust) sebagai fondasi demokrasi digital dan menutup pemaparannya dengan pantun reflektif yang mengajak publik kembali meneguhkan komitmen kebangsaan.
Melalui forum ini, Badan Pengkajian MPR menegaskan komitmennya untuk menjadikan Pancasila sebagai kompas utama dalam merumuskan arah kebijakan nasional. Hal ini termasuk menghadapi tantangan digital seperti disinformasi, polarisasi, eksploitasi data, dan ancaman terhadap integritas demokrasi.
Dengan penguatan kajian dan dialog publik yang berkelanjutan, MPR berharap demokrasi berbasis Pancasila dapat terus hidup, tumbuh, dan menjadi fondasi utama dalam menjaga kedaulatan rakyat Indonesia. (Red)


Komentar