![]() |
| pemegang copyright dari dokumentasi di atas adalah Pemerintah Kabupaten Ponorogo yang diberikan kepada Direktorat Jenderal Kebudayaan (pada saat pengusulan). |
Oleh: Geodesia Lindi Eodiawati, Dynda Agustina Tiara Putri, Retno Widowati, dan Rachmatul Nabila Nur Aini
Lensajatim.id, Opini- Kalau Reog Ponorogo bisa bicara, mungkin ia akan bertanya: “Aku sudah diakui dunia, sekarang kalian mau ngapain?”
Pertanyaan sederhana yang tidak mudah dijawab.
Desember 2024, kabar membanggakan datang dari Asunción, Paraguay. Reog Ponorogo resmi tercatat sebagai Warisan Budaya Takbenda UNESCO. Beberapa bulan berselang, Ponorogo kembali mendapat kehormatan: masuk dalam Jaringan Kota Kreatif UNESCO kategori Crafts and Folk Art, sejajar dengan 407 kota dari berbagai penjuru dunia.
Dua pengakuan internasional dalam waktu berdekatan. Sebuah pencapaian yang patut dirayakan. Namun setelah confetti-nya turun dan spanduk ucapan selamat mulai pudar, satu pertanyaan mendasar perlu dijawab: apa langkah selanjutnya?
**Pengakuan Adalah Awal, Bukan Tujuan**
Dalam perspektif manajemen strategis, pengakuan UNESCO dapat dikategorikan sebagai *strategic asset*—aset yang berpotensi menjadi sumber keunggulan kompetitif bagi sebuah daerah. Jay Barney dalam teori *Resource-Based View* (1991) menjelaskan bahwa sumber daya bernilai strategis memiliki empat karakteristik: bernilai (*valuable*), langka (*rare*), sulit ditiru (*imperfectly imitable*), dan tidak tergantikan (*non-substitutable*).
Reog Ponorogo memenuhi keempat kriteria tersebut. Ia bernilai tinggi secara kultural dan ekonomi. Ia langka karena hanya ada di Ponorogo. Ia sulit ditiru karena membutuhkan akumulasi pengetahuan dan keterampilan lintas generasi. Dan ia tidak tergantikan karena memiliki karakteristik unik yang berbeda dari kesenian manapun di dunia.
Namun memiliki *strategic asset* saja tidak menjamin keberhasilan. Michael Porter dalam kerangka *Competitive Advantage* (1985) menegaskan bahwa keunggulan kompetitif hanya bertahan jika didukung oleh aktivitas-aktivitas strategis yang saling menguatkan. Tanpa pengelolaan yang tepat, aset sehebat apapun akan mengalami depresiasi—bahkan bisa menghilang.
**Membaca Sinyal dari Kategori UNESCO**
Ada satu detail yang perlu dicermati dengan saksama. UNESCO menempatkan Reog Ponorogo dalam kategori *In Need of Urgent Safeguarding*—warisan budaya yang membutuhkan perlindungan mendesak. Kategori ini berbeda dengan *Representative List* yang lebih bersifat perayaan keberagaman budaya.
Penempatan dalam kategori ini mengindikasikan bahwa UNESCO melihat adanya tantangan serius terhadap keberlangsungan Reog. Bukan karena Reog tidak bernilai, justru sebaliknya—nilainya sangat tinggi sehingga potensi kehilangannya dianggap sebagai kerugian besar bagi warisan budaya dunia.
Dalam kerangka analisis SWOT, kondisi ini dapat dibaca sebagai berikut: Ponorogo memiliki *strength* berupa ekosistem budaya yang masih berfungsi, sekaligus menghadapi *threat* berupa tantangan regenerasi dan perubahan preferensi masyarakat. Peluang (*opportunity*) terbuka lebar melalui pengakuan UNESCO dan akses ke jejaring internasional. Kelemahannya (*weakness*) terletak pada kapasitas kelembagaan dan sumber daya untuk mengelola kedua pengakuan ini secara simultan.
Kurt Lewin dalam teori *Force Field Analysis* (1951) menjelaskan bahwa perubahan terjadi ketika kekuatan pendorong (*driving forces*) lebih besar daripada kekuatan penghambat (*restraining forces*). Tugas para pemangku kepentingan adalah memperkuat kekuatan pendorong sekaligus meminimalkan hambatan.
**Ekosistem Reog: Rantai Nilai yang Perlu Dijaga**
Salah satu alasan UNESCO mengakui Ponorogo sebagai Kota Kreatif adalah kekuatan ekosistem Reog yang menyeluruh. Kesenian ini tidak berdiri sendiri—ia terhubung dengan berbagai aktivitas ekonomi: pembuatan topeng dadak merak, produksi kostum, kerajinan gamelan, hingga sektor jasa pendukung pertunjukan.
Michael Porter dalam konsep *Value Chain* (1985) menjelaskan bahwa keunggulan kompetitif tercipta dari rangkaian aktivitas yang saling terkait dan saling menguatkan. Ekosistem Reog adalah contoh nyata dari rantai nilai budaya yang hidup.
Namun rantai nilai ini perlu dipelihara. Jika satu mata rantai melemah—misalnya berkurangnya pengrajin topeng berkualitas—maka seluruh rantai akan terdampak. Dalam perspektif *Supply Chain Management*, diperlukan upaya untuk memastikan setiap simpul dalam rantai tetap berfungsi optimal dan berkelanjutan.
R. Edward Freeman dalam teori *Stakeholder* (1984) menekankan pentingnya memperhatikan kepentingan seluruh pemangku kepentingan, tidak hanya pihak-pihak yang memiliki kekuasaan formal. Dalam konteks Reog, para pengrajin, seniman, dan pelaku budaya di tingkat akar rumput adalah *primary stakeholders* yang kesejahteraannya menentukan keberlangsungan ekosistem secara keseluruhan.
Pertanyaan praktisnya: apakah para pelaku di ekosistem Reog sudah mendapatkan manfaat ekonomi yang memadai? Apakah profesi mereka cukup menjanjikan untuk menarik minat generasi penerus?
**Modal Sosial: Kekuatan Tak Kasat Mata**
Di balik kemegahan topeng dadak merak dan dinamika gerakan jathilan, tersimpan kekuatan yang lebih fundamental: modal sosial.
Robert Putnam dalam *Making Democracy Work* (1993) mendefinisikan modal sosial sebagai jaringan, norma, dan kepercayaan yang memungkinkan partisipan bertindak bersama secara efektif. Pertunjukan Reog adalah manifestasi nyata dari modal sosial ini.
Sebuah pertunjukan Reog melibatkan puluhan orang dengan peran berbeda: pembarong yang memanggul dadak merak, penari jathilan, pemain gamelan, dalang, hingga kru pendukung. Semua harus bergerak dalam koordinasi yang presisi tanpa instruksi tertulis. Ini hanya mungkin terjadi jika ada kepercayaan dan pemahaman bersama yang terbangun melalui interaksi berulang.
James Coleman dalam *Foundations of Social Theory* (1990) menjelaskan bahwa modal sosial terbentuk melalui investasi waktu dan energi dalam hubungan sosial. Ia tidak bisa dibeli atau dibangun secara instan. Ketika komunitas Reog melemah—karena urbanisasi, perubahan gaya hidup, atau faktor lain—modal sosial ini ikut terkikis.
Francis Fukuyama dalam *Trust* (1995) menambahkan bahwa modal sosial adalah prasyarat bagi kemakmuran ekonomi. Masyarakat dengan modal sosial tinggi lebih mampu membangun organisasi ekonomi yang kompleks dan efisien. Dalam konteks ini, melestarikan Reog bukan sekadar menjaga kesenian, tetapi juga memelihara infrastruktur sosial yang menopang kehidupan masyarakat Ponorogo.
**Kapabilitas Dinamis: Kunci Adaptasi**
David Teece, Gary Pisano, dan Amy Shuen dalam artikel seminal *Dynamic Capabilities and Strategic Management* (1997) memperkenalkan konsep *dynamic capabilities*—kemampuan organisasi untuk mengintegrasikan, membangun, dan mengonfigurasi ulang kompetensi internal dan eksternal untuk merespons perubahan lingkungan.
Konsep ini sangat relevan bagi Ponorogo. Lingkungan budaya sedang berubah dengan cepat. Digitalisasi mengubah cara masyarakat mengonsumsi hiburan. Urbanisasi memengaruhi pola permukiman dan ikatan komunitas. Globalisasi membawa nilai-nilai dan preferensi baru.
Dalam situasi ini, mempertahankan Reog dalam bentuk yang sama persis dengan masa lalu mungkin bukan strategi yang tepat. Yang dibutuhkan adalah kemampuan untuk beradaptasi—menjaga esensi sambil menemukan cara-cara baru untuk tetap relevan.
Clayton Christensen dalam teori *Disruptive Innovation* (2003) mengingatkan bahwa organisasi yang terlalu fokus pada cara lama sering kali gagal merespons perubahan fundamental di lingkungannya. Tantangan bagi Ponorogo adalah menemukan keseimbangan antara pelestarian dan inovasi.
Beberapa pertanyaan strategis yang perlu dijawab: Bagaimana Reog dapat hadir di platform digital tanpa kehilangan karakternya? Bagaimana pertunjukan Reog dapat dikemas untuk menarik minat generasi muda? Bagaimana model bisnis ekosistem Reog dapat diperbarui agar lebih berkelanjutan secara ekonomi?
**Tata Kelola Kolaboratif: Melampaui Koordinasi**
Chris Ansell dan Alison Gash dalam *Collaborative Governance in Theory and Practice* (2008) mendefinisikan tata kelola kolaboratif sebagai pengaturan di mana satu atau lebih lembaga publik melibatkan pemangku kepentingan non-negara dalam proses pengambilan keputusan kolektif yang bersifat formal, berorientasi konsensus, dan deliberatif.
Pengelolaan warisan budaya seperti Reog membutuhkan pendekatan ini. Tidak cukup jika tanggung jawab hanya berada di satu instansi pemerintah. Diperlukan pelibatan aktif dari komunitas seniman, pengrajin, akademisi, sektor swasta, dan masyarakat luas.
Elinor Ostrom, penerima Nobel Ekonomi 2009, dalam *Governing the Commons* (1990) menunjukkan bahwa pengelolaan sumber daya bersama (*common pool resources*) dapat berhasil jika ada aturan main yang jelas, mekanisme pemantauan yang efektif, dan partisipasi aktif dari komunitas pengguna. Warisan budaya memiliki karakteristik serupa dengan sumber daya bersama—nilainya dinikmati kolektif, dan kelestariannya bergantung pada tindakan kolektif pula.
Implikasinya, Ponorogo mungkin perlu mempertimbangkan pembentukan lembaga khusus yang memiliki mandat jelas untuk mengelola warisan budaya Reog. Lembaga ini idealnya melibatkan representasi dari berbagai pemangku kepentingan dan memiliki kapasitas untuk menyusun serta mengimplementasikan rencana aksi jangka panjang.
**Manajemen Perubahan: Dari Visi ke Aksi**
John Kotter dalam *Leading Change* (1996) mengidentifikasi delapan tahap transformasi organisasi yang berhasil: (1) menciptakan rasa urgensi, (2) membentuk koalisi pemandu, (3) mengembangkan visi dan strategi, (4) mengkomunikasikan visi perubahan, (5) memberdayakan tindakan berbasis luas, (6) menghasilkan kemenangan jangka pendek, (7) mengkonsolidasikan keuntungan dan menghasilkan lebih banyak perubahan, serta (8) menanamkan pendekatan baru dalam budaya.
Kerangka ini dapat diadaptasi untuk konteks pelestarian Reog. Pengakuan UNESCO dapat menjadi momentum untuk menciptakan rasa urgensi. Koalisi pemandu dapat dibentuk dari tokoh-tokoh kunci di berbagai sektor. Visi jangka panjang tentang masa depan Reog perlu dirumuskan dan dikomunikasikan secara luas.
Yang tidak kalah penting adalah menghasilkan *quick wins*—keberhasilan-keberhasilan kecil dalam jangka pendek yang dapat membangun momentum dan kepercayaan. Ini bisa berupa peningkatan kesejahteraan pengrajin, program pelatihan untuk generasi muda, atau inovasi dalam penyajian pertunjukan.
Peter Senge dalam *The Fifth Discipline* (1990) menekankan pentingnya organisasi pembelajaran (*learning organization*)—organisasi yang terus-menerus belajar dan beradaptasi. Ekosistem Reog perlu mengembangkan kapasitas untuk belajar dari pengalaman, bereksperimen dengan pendekatan baru, dan berbagi pengetahuan antar-anggota.
**Penutup: Momentum yang Tidak Boleh Disia-siakan**
Pengakuan UNESCO terhadap Reog Ponorogo dan status Ponorogo sebagai Kota Kreatif adalah momentum berharga. Dalam terminologi manajemen strategis, ini adalah *window of opportunity*—jendela peluang yang terbuka untuk waktu terbatas.
Gary Hamel dan C.K. Prahalad dalam *Competing for the Future* (1994) mengingatkan bahwa organisasi yang berhasil adalah yang mampu membayangkan dan menciptakan masa depan, bukan sekadar bereaksi terhadap perubahan. Ponorogo memiliki kesempatan untuk mendefinisikan ulang bagaimana warisan budaya dapat dikelola secara berkelanjutan di abad ke-21.
Tantangannya bukan pada pengakuan—itu sudah diperoleh. Tantangannya adalah pada tindak lanjut. Pada kemampuan mentransformasi pengakuan menjadi program nyata. Pada komitmen untuk memastikan bahwa Reog tetap hidup dan berkembang, bukan sekadar bertahan.
Henry Mintzberg dalam *The Rise and Fall of Strategic Planning* (1994) membedakan antara *intended strategy* (strategi yang direncanakan) dan *realized strategy* (strategi yang terwujud). Banyak rencana bagus yang tidak pernah terlaksana. Yang membedakan organisasi sukses adalah kemampuan untuk mengeksekusi.
Reog sudah mendunia. Pertanyaannya sekarang: apakah kita yang ada di sekitarnya siap bergerak bersama?
Jawabannya ada di tangan seluruh pemangku kepentingan—pemerintah, komunitas budaya, akademisi, pelaku usaha, dan masyarakat Ponorogo secara keseluruhan. Bukan tanggung jawab satu pihak, melainkan tanggung jawab bersama.
Karena pada akhirnya, warisan budaya hanya akan lestari jika ada yang mau merawatnya. Bukan dengan sekadar memajang piagam penghargaan, tetapi dengan kerja nyata yang dampaknya terasa hingga ke generasi mendatang.
*Geodesia Lindi Eodiawati, Dynda Agustina Tiara Putri, Retno Widowati, dan Rachmatul Nabila Nur Aini adalah mahasiswa Magister Manajemen Universitas Muhammadiyah Ponorogo.*


Komentar