|
Menu Close Menu

Jangan Terburu-buru Membubarkan Pers Mahasiswa, Ganti yang Buruk dan Ambil yang Baik

Minggu, 28 Desember 2025 | 16.22 WIB

Ilustrasi.(Dok/Bulaksumurugm)

Oleh: Ach Zainuddin

(Penulis adalah Sekretaris Jenderal PPMI Nasional)

Lensajatim.id, Opini- Pers Mahasiswa tempat mahasiswa belajar tentang Jurnalistik yang seringkali para aktivis pers mahasiswa menganggap tempat orang orang yang kritis dan adaptif dalam menyikapi isu kampus ataupun isu ketimpangan sosial dikalangan masyarakat. Belakangan ini banyak aktivis pers mahasiswa mempersoalkan tentang situasi pers mahasiswa sendiri, sehingga tak sedikit yang membuat esai berisi kritik konstruktif untuk kembali mengingatkan kepada pers mahasiswa agar tidak terlalu jauh bergelimang dengan dunia aktivis pers mahasiswa yang sering kali masih mementingkan kepentingan pribadi jauh lebih tinggi dari pada kepentingan organisasinya.


Padahal kita tahu bahwa menjadi aktivis pers mahasiswa tidaklah mudah, butuh konsistensi dalam berproses, mental yang kuat dalam menjalankan tugas jurnalistik, sehingga tidak selesai rasanya bagi saya ketika aktivis pers mahasiswa hari ini sudah cenderung mampu dalam menyajikan produk Jurnalistik yang bersifat independen, aktual, tajam dan terpercaya jika belum bisa memastikan dirinya bahwa tidak ada kepentingan dirinya di atas kepentingan organisasi.  melainkan aktivis Pers Mahasiswa selalu bersama dengan keberanian, kejujuran, keberanian. Serta mampu memiliki tanggungjawab yang tinggi terhadap organisasi.


Tak sedikit yang terjadi banyak aktivis pers mahasiswa yang kita kenal para  mahasiswa yang kritis para kaum muda yang menganggap bahwasanya “idealisme terakhir seorang mahasiswa adalah idealisme pers mahasiswa” begitulah kira kira yang sering saya dengar pas waktu awal masuk ke LPM ketika senior menjadi narasumber dalam memberikan pengetahuannya pada saya. Hal itu pula yang tertanam dalam jiwa seorang aktivis pers mahasiswa. Sehingga setelah masuk menjadi anggota magang, anggota resmi value dan giroh semangat berorganisasi aktivis pers mahasiswa tidak lapuk sebagaimana kertas basah, serta tak lekang oleh api sebagaiman kayu yang menjadi abu, artinya apa dalam situasi dan kondisi apapun menjadi aktivis Pers Mahasiswa haruslah bertahan sampai tuntas prosesnya. Bukan hanya mengikuti DJTD dan DJTL lalu menghilang, bagi saya orang-orang itulah yang dikenal sebagai orang-orang yang berpenghianat atas sumpah yang telah mereka ucapkan saat pengukuhan.


Ada banyak hal yang ingin saya sampaikan dalam tulisan esai sederhana ini aktivis pers mahasiswa harus sadar akan pentingnya semangat kerja kolektif serta tak anti untuk selalu mengupgrade diri masing masing pers mahasiswa karena terkadang yang membuat saya risih pada aktivis pers mahasiswa hari ini. Mereka setelah selesai mengikuti kaderisasi formal dari DJTD sampai DJTL sudah merasa cukup dan menguasai semua wawasan tentang dunia jurnalistik. Padahal faktanya tak sedikit pers mahasiswa merasa bingung habis mengikuti Diklat mereka mau kemana? Dan harus apa? karena terkadang sistem dalam manejemen organisasi tidak sesuai dengan riset pengurus sehingga kegiatan yang diberikan pasca diklat sama sekali tidak membuat mereka bertahan dan tidak sampai menjadi aktivis pers mahasiswa yang seutuhnya yang dikenal sebagai agen perubahan.


Sehingga aktivis pers mahasiswa hari ini  perlu memiliki kesadaran dalam menjalankan kerja jurnalistik dan karya yang hasilkan. Katanya karya jurnalistik seperti buletin milik angkatan dan hasil investigasi bersama. Tapi kenyataannya yang kerja untuk wawancara, ambil foto, memenuhi tulisan rubrik,  dan membuat desain ilustrasi dan layouter hanya satu atau dua orang. Padahal yang menjadi crew dalam pembuatan buletin dan majalah itu banyak. Ini saya tidak bicara tentang seleksi alam atau seleksi tuhan, tapi bagi saya ini adalah masalah yang harus segera diselesaikan dan solusinya adalah memiliki kesadaran kerja kolektifitas serta mampu menanamkan nilai-nilai cinta organisasi dan integritas.


Menjadi aktivis pers mahasiswa bukanlah hal yang mudah didapatkan oleh individu anggota magang maupun anggota resmi. Sebab aktivis pers mahasiswa adalah orang-orang yang mampu bertahan dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab moral sebagai aktivis pers mahasiswa. Saya rasa tugas pers mahasiswa pembaca sudah tahu jadi saya tidak perlu menjelaskan kembali, saatnya kita kembali berpikir dan merefleksikan diri apakah kita semua yang katanya agen perubahan sudahkah kalian menjadi aktivis pers mahasiswa yang seutuhnya? sehingga tulisan yang dihasilkan dapat membuat gemetar rektorat bukan karena masuk angin, tapi karena ruh yang ada tulisan yang dibuat oleh kalian sangat objektif dan mendalam. Dengan begitu kalian aktivis pers mahasiswa akan diperhitungkan oleh kampus. Sekalipun intervensi dan intimidasi itu akan menjadi jamu pahit idealisme pers mahasiswa sendiri. Nah dari situlah mentalitas aktivis pers mahasiswa hari ini sangatlah penting untuk dijaga bahkan harus memiliki mental baja yang tidak takut terhadap ancaman.


Kalau kata pramoedya Anantatoer itu “menulis adalah bekerja untuk keabadian” dan “sehebat apapun kalian kalau tidak menulis akan tenggelam dari peradaban” George Orwell dalam bukunya animal farm menyampaikan “kebebasan adalah hak untuk memberitahu orang lain, apa yang tidak ingin mereka dengar”  artinya apa dari pernyataan beberapa tokoh Penulis yang hebat diatas menunjukkan berapa kuatnya sebuah tulisan, karena hanya dengan menulis sebuah kejadian akan tercatat secara rapi dalam setiap kata hingga menjadi satu paragraf. Dengan tulisan pula rezim otoriter Soeharto tumbang. Karena ibarat orang makan tanpa air maka nikmatnya orang makan belum dirasakan sempurna, maka sama saja dengan orang melakukan Gerakan besar besaran tanpa ada yang menulis maka sejarah akan tenggelam dan kawalannya tidak begitu kuat kalau tidak ada yang menulis.


Namun jika  pers mahasiswa belakangan ini ada isu “bubarkan saja pers mahasiswa itu” itu juga menjadi hal yang wajar sebagai bentuk kekecewaan kritik konstruktif juga supaya aktivis pers mahasiswa hari ini tidak pura pura tidur dari realita kondisi kampus atau bahkan kondisi negara. Disisi lain isu bubarkan pers mahasiswa juga ada mudarotnya karena dari kalangan aktivis pers mahasiswa yang masih jauh berbeda dari aktivis pers mahasiswa masa orde baru sampai masa runtuhnya rezim otoriter itu sangatlah berbeda. Oleh karena itu butuh beberapa masukan dan pembenahan dalam setiap organisasi pers mahasiswa dan harus direspon dengan kesadaran dalam diri pers mahasiswa itu sendiri.


Sehingga aktivis pers mahasiswa hari ini memiliki kesadaran penuh dalam tanggungjawab moral dan tidak anti dalam kritik konstruktif supaya pers mahasiswa memiliki karakter yang berbeda dengan mahasiswa pada umumnya. Tentu dari segi nama yang dimandatkan setelah dibaiat dalam masa Diklat itu sudah berbeda Pers Mahasiswa dan Mahasiswa kalau mahasiswa yang tidak ikut organisasi LPM tentu hanya dipanggil mahasiswa dan tidak tahu jurnalistik secara utuh. Namun bagi kalangan mahasiswa yang ikut LPM akan mendapatkan mandat pers mahasiswa dialah mahasiswa yang ingin belajar jurnalistik di kampus. Namun saya tidak ingin mengajak kalian berbangga diri atas mandat yang diberikan. Saya hanya  ingin mengajak kalian semua merefleksikan diri tentang sebuah fenomena kemunduran pers mahasiswa belakangan ini yang menuai berbagai macam sudut pandang dan  sorotan dari pers mahasiswa sendiri.


Jika pers mahasiswa hari ini sedang disibukkan dengan kegiatan seremonial yang tidak jelas dampak positifnya sebaiknya lakukan evaluasi total di internal pengurusnya. yang harus menjadi program prioritas pers mahasiswa adalah fokus pada  penggemblengan SDM anggota dan terus meningkatkan karya jurnalistik yang tidak hanya berfokus pada berita seremonial atau yang kita kenal straight news. Namun pers mahasiswa juga terus produktif dalam berita indeptsnews dan investigasingnews sehingga karya jurnalistik yang utuh dan bersfitat independen itu hanya bisa dibaca oleh publik di LPM masing masing kampus.


Sebaiknya juga pers mahasiswa memiliki kemampuan analisis sosial yang kuat sehingga selalu responsif dalam menyikapi isu kampus dan bahkan isu ketimpangan sosial di luar kampus. Karena sejatinya aktivis pers mahasiswa tidak cukup hanya berkutat dalam kampus saja, sebab secara moral juga memiliki tugas sebagaimana pers pada umumnya yang mengacu pada UU Pers No 40 tahun 1999 yang pada kali ini dewan pers mengakui tentang keberadaan pers mahasiswa sekalipun legalitas secara konstitusional keamanan pers mahasiswa masih belum terjamin.Namun keberanian pers mahasiswa tidak boleh stagnan di internal kampus saja tapi harus mampu menyajikan produk Jurnalistik dari aspek sudut pandang yang beda dari dunia pers mainstrem (pers umum) dalam menyikapi isu publik yang memang benar dibutuhkan oleh rakyat. Karena sejarah membuktikan pada masa  orde baru kepemimpinan rezim soeharto pers mainstrem sudah menjadi bagian dari birokrasi pemerintah namun hanya tempo. dan detik yang tetap tidak mau sehingga masyarakat sangat kesulitan dalam membaca berita yang memang utuh karya jurnalistik yang independen.


Kemudian masyarakat mempercayai pers mahasiswalah yang mampu menjadi tempat mereka membaca karya jurnalistik yang penuh kritik pada kebijakan pemerintah rezim waktu itu, serta pers mahasiswa juga menjaga independensi karena yang dikenal masyarakat aktivis pers mahasiswa bukanlah media industri mereka tidak digaji, mereka hanya bermodal pena dan keberanian untuk mengungkap kebohongan yang bersembunyi dibalik kebenaran menurut pemerintah sendiri.


Oleh sebab itu, Pers Mahasiswa harus kembali pada khittohnya selalu aktif dalam menyoal isu populis kalau dikampus bersama Mahasiswa untuk menyampaikan dalam tulisan tentang kebenaran dan keadilan kalau di luar kampus bersama masyarakat yang mustadafin (tertindas) sehingga karya jurnalistik Pers Mahasiswa memiliki nilai yang penting untuk publik tahu dan tak kalah penting mampu membuat pemerintah mengakui keberadaan Pers Mahasiswa yang memang kritis, responsif dan independen.

Bagikan:

Komentar