![]() |
| FGD Kelompok Badan Pengkajian MPR RI.(Dok/Istimewa). |
Lensajatim.id, Jakarta— Kelompok I Badan Pengkajian (BP) MPR RI menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertema “Demokrasi Indonesia dan Ancaman Slipping Down Pascareformasi” di Jakarta, Rabu (3/12/2025). Forum ini menjadi ruang strategis untuk membedah tantangan demokrasi Indonesia sekaligus merumuskan arah kebijakan penguatannya dalam jangka panjang.
Sejumlah anggota MPR RI, pakar politik, akademisi, dan aktivis demokrasi hadir dalam diskusi tersebut. Di antaranya Prof. Dr. Yasonna H. Laoly, S.H., M.Sc., Ph.D., Dr. Andreas Hugo Pareira, I.G.N. Kesuma Kelakan, H. Hasan Basri Agus, Dr. Endang Setyawati Thohari, Saadiah Uluputty, Amalia Anggraini, Ust. Dr. Dedi Iskandar Batubara, Denty Eka Widi Pratiwi, Dr. Lia Istifhama, Jupri Mahmud, hingga Aji Mirni Mawarni.
Diskusi berlangsung dinamis dengan berbagai pandangan kritis terkait tantangan demokrasi Indonesia setelah lebih dari dua dekade reformasi.
Ketua Kelompok I BP MPR RI, Prof. Yasonna H. Laoly, menegaskan bahwa fenomena slipping down democracy atau penurunan kualitas demokrasi di tengah sistem yang terlihat stabil merupakan ancaman serius bagi masa depan bangsa.
“Jika kualitas demokrasi menurun, yang terancam bukan hanya sistem politiknya, tetapi juga keberlanjutan kehidupan berbangsa ke depan,” ujar Yasonna.
Ia menambahkan, BP MPR RI memandang isu demokrasi dari sudut pandang kenegarawanan. Karena tidak terikat pada kepentingan fraksi, Badan Pengkajian memiliki ruang objektif untuk menyusun rekomendasi penguatan sistem ketatanegaraan.
Sementara itu, pakar politik Prof. Burhanuddin memaparkan tantangan besar demokrasi Indonesia, salah satunya tingginya biaya politik. Ia menyebut Indonesia menempati peringkat ketiga negara dengan biaya politik termahal di dunia.
“Ini ironi bagi demokrasi yang bertumpu pada vox populi vox dei. Pertanyaannya, apakah demokrasi masih dipandang sebagai instrumen bernegara, atau sekadar arena transaksi kekuasaan?” tegasnya.
Menurutnya, diperlukan desain pendidikan politik yang mampu meningkatkan rasionalitas pemilih di tengah kuatnya arus pragmatisme politik dan dominasi media sosial.
Dalam forum tersebut, peserta juga mengulas isu strategis lain, mulai dari meningkatnya praktik politik uang, merosotnya kualitas representasi meski biaya politik terus melonjak, hingga pentingnya memperluas partisipasi publik dalam Pilkada serentak. Penguatan check and balances antara lembaga legislatif dan penegak hukum juga menjadi sorotan.
Beberapa peserta FGD bahkan mempertanyakan relevansi skema dukungan minimal dalam pencalonan kepala daerah, dan mengusulkan wacana perubahan menjadi skema dukungan maksimal untuk memperluas partisipasi publik.
Diskusi juga mengerucut pada urgensi penguatan haluan negara melalui Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai grand design pembangunan jangka panjang. Banyak pihak menilai, pembangunan nasional selama ini kehilangan konsistensi karena pergantian pemerintahan selalu membawa prioritas baru.
Relevansi amandemen UUD juga kembali mengemuka, khususnya terkait perlunya dokumen haluan negara yang mengikat agar pembangunan tidak terjebak rivalitas politik jangka pendek.
Menanggapi berbagai paparan tersebut, anggota MPR RI dari DPD, Dr. Lia Istifhama, menilai ancaman slipping down democracy sebagai isu yang sangat fundamental bagi masa depan demokrasi Indonesia.
“Jika Prof. Yasonna menyampaikan adanya ancaman slipping down demokrasi, maka ini isu yang tidak bisa dianggap ringan. Relevansinya sangat besar bagi keberlanjutan demokrasi kita,” ujar senator yang akrab disapa Ning Lia itu.
Ning Lia juga mengapresiasi paparan Prof. Burhanuddin terkait potret kedaulatan rakyat dalam bingkai Demokrasi Pancasila. Ia menegaskan bahwa tantangan utama demokrasi saat ini adalah bagaimana menciptakan pendidikan politik yang mendorong rasionalitas pemilih.
“Di era pragmatisme dan media sosial, bagaimana skema demokrasi bisa menciptakan pemilih yang lebih rasional?” katanya.
Menanggapi isu Pilkada langsung, Ning Lia mempertanyakan perlunya pendekatan baru dengan mempertimbangkan skema dukungan maksimal, bukan sekadar minimal, sebagai stimulus partisipasi publik.
Selain itu, ia menyebut tingginya biaya politik yang tidak diiringi peningkatan kualitas representasi sebagai “tamparan demokrasi” yang harus disikapi serius.
Terkait wacana PPHN, Ning Lia menilai pembangunan nasional membutuhkan restorasi perencanaan strategis yang mengikat secara konstitusional agar tidak terjebak pada rivalitas politik jangka pendek.
“Bagaimana agar ada sinergi positif antara hasil kontestasi demokrasi dengan peta politik nasional? Kita ingin pembangunan berjalan inklusif, selaras dengan RPJMN dan program strategis nasional, serta memastikan prinsip no one left behind,” pungkasnya.
FGD ini menjadi bagian dari ikhtiar Kelompok I BP MPR RI untuk mencegah kemunduran kualitas demokrasi, memperkuat integritas dan rasionalitas pemilih, serta menyiapkan rekomendasi kebijakan kenegaraan jangka panjang demi pembangunan nasional yang berkelanjutan. (Red)


Komentar