|
Menu Close Menu

Habib Sholeh, Napoleon Bonaparte dan Wisata Makam

Sabtu, 22 Mei 2021 | 20.58 WIB



Oleh Moch Eksan


Opini- Habib Sholeh dan Napolen Bonaparte dua tokoh yang makamnya dikunjungi banyak orang. Makam Habib berada di komplek Masjid Riyadus Sholihin Tanggul. Makam Napoleon di Las Invalides Paris.


Dua tokoh ini memiliki pengaruh bagi saya. Dua kota tempat jasad dua tokoh dikebumikan ini pun, punya sweet memories dalam perjalanan hidup saya.


Tanggul sebuah kota kecamatan dimana istri saya berasal. Dan Paris sebuah kota besar dunia dimana saya pernah menginjakkan kaki pertama kali ke luar negeri 2015. Dua kota ini menjadi jendela mengenal kehidupan keluarga dan peradaban dunia.


Sesungguhnya, Habib Sholeh dan Napoleon sama-sama tak saya kenal secara pribadi langsung. Saya tahu dari buku sejarah dan cerita sejarawan. Ternyata, seorang tokoh bisa tetap hidup dalam kematian. Memang, dua tokoh ini sudah meninggal puluhan dan ratusan tahun lalu, namun pengaruhnya tetap terasa sampai sekarang. Seakan-seakan masih hidup, fikiran, sikap dan tindakannya banyak menginspirasi orang di berbagai belahan dunia manapun.


Riwayat hidup singkat Habib Sholeh dan Napoleon ternyata mudah diakses. Melalui Wikipedia, informasi menyangkut dua tokoh ini tersedia cukup memadai untuk sekadar studi komparasi. Bahwasanya tokoh yang berjasa di tengah-tengah kehidupan masyarakat dan bangsa selalu punya tempat di hati masyarakat. Ajal terbukti bukan pembatas hubungan spiritual dan intelektual antar orang yang mengagumi dan dikagumi. Hubungan rohani tetap terjalin melalui mata rantai dzikir dan fikir antar anak Manusia.


Habib Sholeh lahir di Wadi' Amd Hadramaut Yaman, 1895 dan meninggal di Tanggul, Jember, Jawa Timur, 1976. Sedangkan,  Napoleon lahir Ajaccio, Korsika Prancis, 1769 dan meninggal di Longwood, Saint Helena, Inggris. Kematiannya ditangisi  banyak orang. Sebab, banyak orang merasa kehilangan tokoh panutannya. Banyak cerita rakyat mengungkapkan keistimewaan dua tokoh tersebut. Sang wali diharapkan keberkahannya dan sang panglima ditimba pengetahuannya.


Habib Sholeh merupakan guru spiritual dari Wakil Presiden Adam Malik (1978-1983). Napoleon adalah Kaisar (1804-1814) yang menjadi bapak Prancis Modern. Dua tokoh ini berjasa mewarnai perjalanan bangsa, sesuai dengan kepasitas masing-masing. Yang pasti, keberkahan dan pengetahuan ternyata amal yang tak pernah putus walau jasad sudah tak di kandung badan.


Sepeninggal Habib Sholeh 45 tahun dan Napoleon 200 tahun lalu, makamnya direkomendasikan untuk dikunjungi oleh wisatawan makam dunia. Tanggal meninggal selalu dihauli untuk membaca manaqib hidupnya.


Ternyata, ziarah ke makam merupakan budaya universal. Makam juga madrasah untuk belajar kearifan hidup. Bahwa banyak varian kehidupan dan kematian. Ada kehidupan dalam kehidupan. Ada kematian dalam kematian. Ada kehidupan dalam kematian. Dan ada  pula kematian dalam kehidupan. 


Jadi, bagi orang seperti Habib Sholeh dan Napoleon, hidup bukan sekadar pokok hidup. Mati bukan sekadar jasad bertimbun tanah. Akan tetapi, hidup di dunia harus punya meaning of life (makna hidup). Makna hidup sendiri terbentuk dari ideologi agama masing-masing.


Habib Sholeh besar dalam tradisi Islam Suni dan Napoleon besar dalam tradisi Katholik Roma. Kedua agama ini kebetulan berasal dari agama samawi yang punya Tuhan yang sama. Meski juga harus diakui punya nabi yang berbeda. Hidup dimaknai sebagai pengabdian total kepada Tuhan Yang Maha Esa. Syariah berbeda dalam menjalankan hidup adalah jalan kompetisi untuk menjadi yang terbaik.


Betapapun wisata makam ditolak dengan alasan syar'i atau aqali, penolakan itu bentuk pengingkaran terhadap budaya universal tersebut. Semakin keras dihalangi, semakin  banyak orang yang ingin mengunjunginya. Itulah hukum alam yang tak menghendaki manusia berada dalam satu kutub pemikiran. Pertarungan antara proziarah atau kontraziarah makam akan selalu mewarnai pergumulan peradaban dunia.


Makam Habib Sholeh dan Napoleon, betapapun dikritik dan dibully, tetap menjadi magnitude yang menarik manusia datang berziarah. Mereka merasa mendapatkan manfaat rohani khusus. Semua bergantung pada sisi mana melihatnya. Tak ada sesuatu yang sia-sia di dunia ini. 


*Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute.

Bagikan:

Komentar