|
Menu Close Menu

Soal Opsi Pj Kepala Daerah dari Perwira TNI/Polri, Begini Penjelasan Komisi II DPR RI

Selasa, 28 September 2021 | 22.51 WIB

 

Aminurokhman, Anggota Komisi II DPR RI (Dok/Istimewa).

lensajatim.id Jakarta- Munculnya wacana opsi penunjukan perwira TNI/Polri menjadi pejabat (Pj)   Kepala Daerah dalam peralihan kepemimpinan jelang Pilkada serentak 2024, mendapat reaksi dari   Anggota Komisi II DPR, Aminurokhman. Menurutnya  Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) harus di revisi, jika Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) ingin melakukan hal tersebut.


Setidaknya, untuk tahun 2022 ada  101 kepala daerah yang akan habis masa jabatannya pada 2022. Sementara itu, sebanyak 171 kepala daerah akan habis masa jabatannya pada 2023. Karena itulah dibutuhkan penunjukan Pj.


Lebih rinci ada sekitar 7 provinsi, 18 kota dan 76 kabupaten yang menggelar Pilkada 2017 dengan masa jabatan penjabat rerata habis pada 2022. Sementara itu, ada 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten yang akan menyelenggarakan Pilkada 2018. Jika ditotal, maka ada sekitar 272 daerah yang menjalankan Pilkada 2024.


Jika merujuk pada UU Pilkada, kekosongan jabatan itu akan diisi oleh penjabat kepala daerah. Dalam pasal 201 ayat 9-11 UU Pilkada, jabatan gubernur akan diisi oleh penjabat yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan gubernur. Sedangkan posisi bupati dan wali kota akan diisi oleh penjabat pimpinan tinggi pratama.


Menurut politisi Partai NasDem ini, isi pasal dalam UU tersebut sudah sangat jelas bahwa penunjukan Pj Kepala Daerah berasal dari aparatur sipil negara atau ASN. Sementara TNI/Polri bukan ASN.


“Iya harus di revisi (UU Pilkada jika TNI/Polri jadi Pj Kepala Daerah-red). Kalau konteks wacana, ini harus dikembalikan ke UU dulu. Tidak bisa diatur dalam peraturan dibawah UU,” kata Aminurokhman saat dikonfirmasi, Senin (27/9/2021).


Lebih lanjut anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR ini mengungkapkan UU Pilkada maupun UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu batal di revisi yang sudah disepakati oleh Pemerintah dan DPR. Sebab itu, kata dia, semua pihak terutama Pemerintah harus konsisten dengan kebijakan yang ada dalam UU Pilkada bahwa penunjukan Pj Kepala Daerah harus dari ASN.


“Kalau kita mau konsisten dengan kebijakan yang ada, UU Pemilu dan UU Pilkada tidak dirubah, ya sudah kita ikuti ketentuan itu,” ujarnya.


Mantan Wali Kota Pasuruan menilai apabila ada pemikiran-pemikiran atau opsi diluar ketentuan UU, tentu ini menjadi kontroversi ke depan di tingkat lokal. Sementara saat ini dibutuhkan suasana yang positif.


“Apalagi menjelang tahun politik, maka hindari kebijakan-kebijakan yang dapat menimbulkan ekses yang tidak bagus. Ini akan dicurigai macam-macam. Apalagi tahun politik,” jelasnya.


Selain itu, legislator asal Jawa Timur ini tidak ingin kebijakan pemerintah sudah membaik, menjadi terganggu konsentrasi dan program-program strategisnya. Seperti program penanggulangan Covid-19 dan sebagainya.


Aminurokhman juga tidak sepakat penunjukan Pj Kepala Daerah dari TNI/Polri khusus di daerah yang rawan konflik.


“Kita bisa kualifikasikan kondisi dengan evaluasi secara menyeluruh. Kita tidak boleh mengambil kebijakan diluar UU,” katanya.


Sekedar informasi, beberapa tahun lalu, Kemendagri pernah menunjuk perwira TNI atau Polri aktif menjadi penjabat kepala daerah. Mereka adalah Komjen M Iriawan, menjadi Penjabat Gubernur Jawa Barat, Irjen Carlo Brix Tewu menjadi Pj Gubernur Sulawesi Barat, dan Mayjen Soedarmo sebagai Pj Gubernur Aceh. (Red).

Bagikan:

Komentar