|
Menu Close Menu

Menilik Unsur Pidana UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual Kasus Ketua KPU yang Dipecat DKPP

Senin, 08 Juli 2024 | 10.59 WIB



 

Oleh : Nova Ernny Rumondor, S.H.

 

Lensajatim.id, Opini- Skandal Ketua KPU RI, Hasyim Asy'ari yang dikenakan sanski berat karena terbukti melanggar Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) atas tindak asusila dalam jabatan yang berujung Putusan Pemecatan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menjadi cerminan betapa urusan libido seksual dapat menutup mata seorang pejabat penyelenggara urusan negara hingga kariernya hancur.


Perbuatan Ketua KPU yang dipecat oleh DKPP dalam Putusan tersebut merupakan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu sebagai satu kesatuan landasan norma moral, etis dan filosofis yang menjadi pedoman bagi perilaku penyelenggara pemilihan umum yang diwajibkan, dilarang, patut atau tidak patut dilakukan dalam semua tindakan dan ucapan.


Di dalam Putusan anggota DKPP mengungkapkan, terdapat lima poin yang dijanjikan Hasyim tapi tidak dipenuhi (ingkari) karena tak bisa menikahi korban. 1). Teradu akan mengurus balik nama apartemen atas nama pengadu. 2). Membiayai keperluan pengadu di Jakarta dan Belanda sebanyak Rp 30 juta per bulan. 3). Memberikan perlindungan dan menjaga nama baik pengadu seumur hidup. 4). Tidak menikah atau kawin dengan perempuan siapa pun terhitung sejak surat pernyataan dibuat. 5). Menelepon atau berkabar kepada pengadu minimal satu kali dalam sehari selama seumur hidup.


Karena janji tersebut tidak dipenuhi, maka perbuatan asusila Ketua KPU tersebut “tidak dapat dikatakan perbuatan suka-sama suka (konsensual)” tetapi  merupakan tindak pidana di mana Pelaku “menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya” sehingga memenuhi Unsur Pidana dalam Pasal 6 huruf c UU No. 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UUTPKS).


Dengan demikian hubungan seksual yang terjadi sebenarnya berdasarkan tipu muslihat sehingga menurut Pasal 6 UUTPKS disebut “Pelecehan Seksual Fisik” dengan sanksi berat dalam Pasal 6 huruf c yang berbunyi “Setiap orang yang menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain, dipidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 300 juta.


Sebenarnya menurut catatan sejarah kasus runtuhnya karier Orang Kuat karena perempuan sudah terjadi sejak zaman Nabi-nabi, catatan peristiwa Samson dan Delila, dimana kekuatan Samson dapat tumbang hanya karena seorang perempuan, seharusnya membuat penyelenggara Negara tidak memandang perempuan dengan sebelah mata.


Bagi Perempuan seperti kata syair lagu “Kau yang berjanji jangan coba ingkari ”kau yang memulai jangan coba kau akhiri”, sehingga beralasan juga bagi Perempuan sebagai korban meminta pertanggungjawaban menurut hukum, salam sehat buat Perempuan Indonesia.


*Penulis adalah Ketua Umum Komite Suara Perempuan Indonesia (KSPI).

Bagikan:

Komentar