Prabowo Subianto, Presiden RI. (Dok/Istimewa). |
Oleh Moch Eksan
Lensajatim.id, Opini- Presiden Prabowo Subianto adalah pimpinan partai Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus. Ada 17 partai politik yang bergabung dalam koalisi ini. Ada yang bergabung sejak proses pencalonan, dan ada pula yang bergabung setelah Presiden 08 menang.
Partai koalisi Prabowo terdiri dari partai parlemen dan non parlemen. Yang parlemen meliputi 7 partai, antara lain Partai Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, PKS, PAN dan Partai Demokrat. Sedangkan non parlemen meliputi 10 partai, antara lain, PPP, PSI, Perindo, PBB, Gelora, Garuda, Buruh, Berkarya, Prima dan PA.
Prabowo adalah pimpinan eksekutif yang menguasai 470 kursi dari 580 anggota parlemen di Senayan. Dia presiden yang powerfull yang memegang 81 persen lebih kekuatan politik saat ini.
Apa saja bisa dilakukan oleh Prabowo sebagai episentrum kekuatan politik lima tahun kedepan. Namun begitu, ia merasa masih perlu menjaga hubungan baik dan memelihara hubungan dengan partai-partai pendukung. Pertemuan dengan para ketua umum dan sekretaris jenderal partai pada Jumat, 1 November 2024, di Istana Negara, harus dibaca dalam relasi kuasa.
Apalagi Prabowo yang menginginkan pertemuan rutin antara para pimpinan partai setiap habis sholat jumat, sekadar makan siang dan bertukar fikiran. Disinilah sebenarnya kendali negara berada di tangan pimpinan partai parlemen.
Mereka adalah Bahlil Lahadalia, Surya Paloh, Abd Muhaimin Iskandar, Ahmad Syaikhu, Zulkifli Hasan, Agus Harimurti Yudhoyono dan Prabowo sendiri. Orang-orang tersebutlah yang sesungguhnya dewan oligar politik Indonesia kontemporer.
Para anggota Kabinet Merah Putih dan anggota DPR RI adalah wayang yang menjalankan arah keputusan partai dalam menyikapi berbagai kebijakan pemerintah. Mereka tak cukup nyali melawan arah keputusan ketua umum, bila tidak, malah jabatannya menjadi taruhan.
Pada dekade terakhir, sulit menjumpai anggota dewan yang berani melawan keputusan partai, semacam tokoh Sri Bintang Pamungkas, atau Matori Abdul Jalil, atau Effendy Choirie, Fahri Hamzah dan lain sebagainya.
Dengan sistem suara terbanyak dan kewenangan partai yang kuat, anggota dewan itu rerata memilih berdamai dengan pimpinan partai, walau terkadang bertentangan dengan common sense dan kepentingan publik. Mereka pasti ditertibkan melalui mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW).
Sementara, para politisi yang terpilih menjadi anggota dewan, mayoritas pengusaha yang lazim berhitung untung rugi. Arus pragmatis telah menjadi arus utama yang melumpuhkan idealisme di lembaga perwakilan sekarang.
Kondisi ini yang telah mendorong segelintir orang memegang kendali kekuasaan. Mereka adalah pimpinan partai yang punya agenda jumatan dengan presiden. Mereka pulah yang menentukan hitam putihnya negeri ini.
Taklah salah, bila perkembangan demokrasi Indonesia pasca reformasi dikritik semakin oligarkis. Memang faktanya, kata Jimly Asshiddiqie, partai kian membiru dan dinasti politik kian berkuasa.
Prabowo pasti tak terlalu merisaukan perkembangan demokrasi oligar. Asal seseorang yang berkuasa atas izin rakyat melalui pemilu yang demokratis. Ia tak mempermasalahkan. Bahkan, ia tak mau cawe-cawe terhadap hasil Pilkada Serentak pada 27 November 2024 mendatang.
Sebagai presiden yang punya relasi kuasa dengan 7 presiden sebelumnya, Prabowo mengerti betul hakikat kekuasaan itu. Dan ia telah membuktikan di depan mahkamah sejarah memperoleh kekuasaan dengan halal.
Jadi, adanya dewan oligar memang dibutuhkan. Dalam istilah Pak Surya, dewan itu semacam forum konsultasi presiden dengan pimpinan partai koalisi. Ini bertujuan membangun sinergi dan kolaborasi dengan kekuatan politik yang ada dalam orkestrasi kepemimpinan demi mewujudkan simponi kebangsaan.
Kendati forum itu tak dilembagakan secara formal, sesungguhnya kekuasaannya mirip dengan konsep ahlul halli wal'aqdi dalam khazanah politik Islam pada pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Atau serupa dewan Walisongo dalam pembentukan Kerajaan Islam Demak Bintoro. Ataupun sejenis dengan konsep wilayatul faqih dalam Republik Islam Iran, dan seterusnya.
Mereka para tokoh setengah dewa yang punya otoritas moral politik untuk menentukan pemimpin. Mereka adalah para tokoh nasional yang sangat dihormati oleh sang khalifah atau sultan atau presiden yang berkuasa.
Barangtentu, bangsa ini menaruh harapan besar terhadap kearifan dan kebijakan para pemimpin partai di atas. Dan dari 7 pimpinan partai koalisi, Pak Suryalah yang paling tak punya beban politis dan psikologis sebagai tokoh yang bukan anak buah presiden dalam kabinet.
Publik boleh berharap pada Ketum NasDem ini untuk bicara terbuka dan apa adanya mengenai aspirasi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Meski publik juga tetap harus mengkonsolidir kekuatan masyarakat sipil dari ormas yang telah dilumpuhkan melalui konsesi tambang oleh pemerintah. Semoga!!!
Moch Eksan adalah Pendiri Eksan Institute dan Penulis Buku "Kerikil Dibalik Sepatu Anies".
Komentar