![]() |
Baliho Ahmad Sahroni Mimpi Jadi Presiden dipasang di Jalan Ranu Grati Kota Malang, Jumat (1/1/2021), Foto: Amanda Egatya/nusadaily.com |
Oleh : Moch Eksan
Billboard Ahmad Sahroni di berbagai kota di Tanah Air, menimbulkan spekulasi politik baru. Tulisan "Mimpi Jadi Presiden, Mumpung Mimpi Masih Gratis Nggak Bayar", tersirat pesan bahwa ia mau running for president 2024.
Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari Partai NasDem ini membantah bahwa baliho tersebut tak punya muatan politik apapun. Itu sekadar memotivasi generasi muda berani bermimpi setinggi-tinggi layak dirinya. Bila ditanya setelah berbagai kesuksesan di bisnis dan politik, ia memang menjawab, sekarang mimpinya jadi presiden.
Tulisan pada Baliho itu, katanya hanya bercanda. Kendati termasuk candaan berat. Lelaki kelahiran Jakarta, 8 Agustus 1977 ini menyadari bahwa dirinya bila dibandingkan dengan semua calon presiden lain, masih jauh.
Dalam berbagai survey, nama Sahroni belum muncul di antara nama-nama calon presiden yang beredar di masyarakat. Hal ini wajar, mengingat Bendahara Umum DPP Partai NasDem ini belum ada yang menggulirkan sebagai tokoh muda yang layak dicalonkan sebagai presiden. Ia mimpi di antara mimpi calon presiden yang berniat maju.
Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada 23-26 Desember 2020, melakukan wawancara melalui telpon kepada 1202 responden, dan dari hasil survey belum ada calon presiden yang kuat. Ada 26 tokoh yang muncul. 10 besar di antaranya: Ganjar Pranowo (15,7 persen), Prabowo Subianto (14,9 persen), Anies Baswaden (11,0 persen), Sandiaga Uno (7,9 persen), Ridwan Kamil (7,1 persen), Agus Harimurti Yudhoyono (3,1 persen), Tri Rismaharini (3,1 persen), Puan Maharani (1,7 persen), Gatot Nurmantyo (1,0 persen).
Sementara, pimpinan partai lain, seperti Golkar, NasDem, PKB, PKS, PAN, Perindo, Berkarya, PBB, di bawah nol persen. Padahal, pimpinan partai parlemen pada Pileg 2019, perolehan suaranya pasti di atas parlemen threshold 4 persen, sebagaimana ketentuan UU Nomor 7 Tahun 2017.
Fenomena ini menarik, kecuali Partai Gerindra, suara pileg tak berbanding lurus dengan suara ketua umum partai. Bahkan, suara elektoral Airlangga Hartarto, 0,1 persen bila dibandingkan dengan suara Golkar 12,31 persen, A Muhaimin Iskandar, 0,3 persen bila dibandingkan dengan suara PKB 9,69 persen, Surya Paloh 0,1 persen bila dibandingkan dengan suara NasDem 9,05 persen, Sohibul Iman 0,0 persen bila dibandingkan dengan suara PKS 8,21 persen, Zulkifli Hasan 0,0 persen bila dibandingkan dengan suara PAN 6,84 persen, Hary Tanoesoedibjo 0,0 persen bila dibandingkan dengan suara Perindo 2,67 persen, Hutomo Mandala Putra 0,0 persen bila dibandingkan dengan suara Berkarya 2,09 persen, Yusril Ihza Mahendra 0,0 persen bila dibandingkan dengan suara PBB 0,79 persen.
Studi komperasi di atas, mendeskripsikan bahwa rerata perolehan suara partai berasal dari caleg, dan sumbangan pimpinan partai tak signifikan. Sumbangan partai pada suara pimpinan partai atau sumbangan pimpinan partai pada suara partai, belum bersifat timbal balik. Ketua umum partai yang ingin maju, harus berjuang sendiri, tak bisa mengandalkan suara partai yang sudah ada. Sebab, suara pileg satu hal, dan suara pilpres adalah hal lain.
Sistem pemilihan langsung presiden memang telah menguatkan presidensialisme dalam ketatanegaraan, namun melemahkan kaderisasi partai dalam kepemimpinan. Partai dipaksa mengusung figur calon yang dikehendaki rakyat berdasarkan opini publik untuk memenangkan pemilu. Sementara itu, kader internal yang berkeringat, tingkat elektabilitasnya kalah dalam berbagai jejak pendapat.
Sebuah pilihan dilematis, partai lama-kelamaan hanya berfungsi sebagai "kendaraan politik" daripada menjadi "kawah candradimuka" politisi negarawan. Padahal, peran dan fungsi partai sangat penting dan strategis dalam rekrutmen kepemimpinan. Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt bahkan mengatakan, partai merupakan pintu masuk demokrasi.
Jujur harus dikatakan, lemahnya kaderisasi partai, disebabkan oleh party ID yang rendah dan democracy's discontent (ketidakpuasan demokrasi) yang merambat pada dislike of the party (ketidaksukaan partai). Ketidaksukaan demokrasi kata Michael J Sandel dalam Democracy's Discontent: America in Search of a Public Philosophy, dilatarbelakangi oleh hilangnya komunalisme dan peran masyarakat sipil dalam pemerintahan.
Ketidaksukaan partai merupakan side effect dari kepercayaan rakyat pada partai tergolong terendah dari berbagai institusi negara dan politik yang ada. Terkait dengan ini, tiga lembaga survey terkemuka di Tanah Air, yaitu LSI, Indobarometer dan Charta Politika, menyebutkan angka 45,8 persen sampai dengan 53 persen.
Membaca mimpi Sahroni, sama halnya dengan membangunkan partai dan politisi bahwa kepemimpinan merupakan hak privillegenya. Partai sejatinya alat perjuangan para pengurus, kader dan simpatisan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan secara kontitusional dan institusional. Sebab, tanpa dukungan partai atau koalisi dalam memenuhi presidential threshold 20 persen kursi atau suara, "malaikat" sekalipun tak bisa mencalonkan diri, apalagi terpilih jadi presiden pasca Jokowi.
Manuver Sahroni mendobrak brigade opini, politisi Senayan juga layak dipertimbangkan sebagai calon presiden. Bukan melulu gubernur, menteri, pengusaha, tokoh agama atau masyarakat, anggota dewan biasa pun boleh juga bermimpi jadi presiden. Selagi bermimpi tak dilarang, bermimpi masih gratis dan tak perlu bayar.
Ditinjau dari berbagai segi, Sahroni dapat dijual sekaligus punya jualan. Di antaranya:
Pertama, Sahroni adalah pengusaha sukses. Ia pengusaha pengisian bahan bakar minyak. Ia acapkali disebut Crazy Rich Tanjung Priok lantaran kekayaan dan kedermawanannya. Total kekayaan menurut website KPK sejumlah Rp 208.076.995.945.
Kedua, Sahroni politisi sukses. Karir di NasDem dan Senayan terus menanjak. Semula Ketua Bidang Ekonomi Garda Pemuda NasDem (2013), merangkap Bendahara kemudian Ketua DPW Partai NasDem DKI Jakarta (2015-2016), kini Bendahara Umum DPP Partai NasDem (2019-sekarang). Ia semula anggota biasa (2014-2019), kini Wakil Ketua Komisi III (2019-2024). Ia berangkat dari Dapil DKI Jakarta III dengan perolehan suara meningkat. Pada 2014, memperoleh 60.683 suara, dan 2019 meningkat menjadi 73.938 suara.
Ketiga, Sahroni politisi pengusaha yang usianya masih relatif muda. Tampang serta tongkrongannya merupakan style anak muda. Penampilan selalu klimis dan hobinya supercar. Ia pernah menjadi Presiden Ferari Owners Club Indonesia (FOCI) periode 2011-2016, dan mengkoleksi puluhan mobil mewah, supercar dan moge. Kepemudaan pasti menjadi faktor magnitude khusus bagi pemilih berusia 17-30 tahun yang berjumlah 60 juta lebih atau setara 31 persen.
Keempat, Sahroni sesungguhnya sudah menjadi "mimpi" dari anak Indonesia. Seorang dari keluarga sederhana yang pernah bekerja sebagai tukang semir sepatu, tukang cuci pirang, sopir, kini sukses sebagai pengusaha pengisian bahan bakar minyak sekaligus anggota dewan. Mimpi sukses dan terus bertambah sukses mengilhami jutaan orang bermimpi sukses pula. Mimpi jadi presiden Sahroni, pasti didorong oleh mimpi Indonesia.
Semua menyadari the power of the dream (kekuatan mimpi). Sahroni apalagi, memandang mimpi itu sebagai doa. Fenty Effendy penulis: Ahmad Sahroni, Anak Priok Meraih Mimpi, merasakan betul getaran kekuatan Sahroni meraih mimpinya dalam bisnis dan politik. Ia berhasil meraih mimpi-mimpi tersebut. Semua sebab kekuatan mimpi itu sendiri sebagai sumber motivasi, energi, dan jalan meraih keberhasilan hidup.
Mimpi Sahroni mengingatkan pada sebuah lirik lagu berjudul The Power of The Dream yang dinyanyikan oleh Celine Dion. Lirik itu sebagai berikut:
Deep within each heart
Jauh di lubuk hati setiap insan
There lies a magic spark
Ada sebuah percik ajaib
That lights the fire of our imagination
Yang nyalakan bara imajinasi kita
And since the dawn of man
Dan sejak mula manusia
The strenght of just "I can"
Kekuatan dari kalimat "aku bisa"
Has brought together people of all nations
Tlah satukan orang-orang dari seluruh penjuru dunia
There's nothing ordinary
Tiada yang biasa-biasa
In the living of each day
Dalam hidup sehari-hari
There's a special part
Ada sebuah peran istimewa
Every one of us will play
Yang setiap kita akan lakoni
CHORUS 1
Feel the flame forever burn
Rasakan bara terus menyala
Teaching lessons we must learn
Ajarkan pelajaran yang harus kita pelajari
To bring us closer to the power of the dream
Dekatkan kita pada kekuatan impian
As the world gives us its best
Saat dunia berikan kita yang terbaik
To stand apart from all the rest
Untuk berbeda dari yang lain
It is the power of the dream that brings us here
Kekuatan impianlah yang membawa kita ke sini.
Your mind will take you far
Pikiranmu 'kan membawamu jauh
The rest is just pure heart
Yang lain hanyalah hati yang murni
You'll find your fate is all your own creation
Kau kan dapati bahwa nasibmu adalah ciptaanmu sendiri
Every boy and girl
Setiap anak laki-laki dan perempuan
As they come into this world
Saat mereka hadir di dunia ini
They bring the gift of hope and inspiration
Mereka membawa kado harapan dan inspirasi
CHORUS 2
Feel the flame forever burn
Rasakan bara terus menyala
Teaching lessons we must learn
Ajarkan pelajaran yang harus kita pelajari
To bring us closer to the power of the dream
Dekatkan kita pada kekuatan impian
The world unites in hope and peace
Dunia bersatu dalam asa dan kedamaian
We pray that it will always be
Kita berdoa semoga kan selalu begini
It is the power of the dream that brings us here
Kekuatan impianlah yang membawa kita ke sini.
There's so much strength in all of us
Ada begitu banyak kekuatan dalam diri kita
Every woman child and man
Tiap perempuan, anak-anak dan laki-laki
It's the moment that you think you can't
Inilah saat yang kau pikir kau tak mampu
You'll discover that you can
Kau kan temukan bahwa kau bisa
CHORUS 2 (2x)
The power of the dream
Kekuatan impian
The faith in things unseen
Keyakinan pada hal-hal yang tak terlihat
The courage to embrace your fear
Nyali tuk mendekap ketakutanmu
No matter where you are
Dimanapun kau berada
To reach for your own star
Tuk menggapai bintangmu
To realize the power of the dream
Tuk wujudkan kekuatan impian
Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute.
Komentar